Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tiada Tegur Sapa, Benar-benar "Kids Zaman Now"

22 Oktober 2017   19:58 Diperbarui: 22 Oktober 2017   20:15 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Pemandangan yang sudah hampir tidak asing sebenarnya melihat anak-anak usia Sekolah Dasar yang sudah piawai sekali memegang telepon pintar, baik untuk mengoperasikan permainan atau pun mengirim sebuah pesan. Keprihatinan mulai muncul tatkala menyaksikan mereka saling adu keren telepon genggam atau berswa foto yang hasilnya akan dibagikan di media sosial. Anak-anak ini memang produk kemajuan zaman masa kini yang terkesan tidak keren kalau tidak memegang telepon seluler.

Kambali pemandangan mengharukan itu saya dapati Sabtu (21/10) di sebuah sekolah yang ketika itu ternyata sedang hari pembagian laporan hasil belajar. Beberapa anak tengah berkumpul bersama di sebuah lintasan tangga, dengan keadaan semua kepala tertunduk ke arah bawah fokus memperhatikan layar telepon genggamnya. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak memegangnya, semua asik dengan permainnnya masing-masing. Sesekali salah satu diantara mereka mengintip layar temannya untuk melihat seberapa hebat ia menyelesaikan permainnya itu, tentu dengan tanpa suara. Namun di bagian lain, beberapa di antara mereka tak sedikit pun mengangkat kepala tanda betapa khidmat ia terhadap benda yang dipegangnya.

Tetapi dibalik itu semua apakah pembaca sekalian tahu bahwa, selama beberapa menit saya memperhatikan, tidak sedikit pun terjadi interaksi suara antar mereka, tidak ada yang saling bicara, tidak ada yang bertegur sapa, tidak ada yang bersenda gurau, dan tidak ada satu pun yang saling memanggil nama temannya. Semua asik sendiri! The real kids zaman now! Menyedihkan!

Bukankah dunia anak adalah dunia yang penuh dengan berlari, berputar dan menari? Bukankah dunia anak adalah dunia yang penuh dengan interaksi? Dan bukankah dunia anak adalah dunia yang penuh dengan canda, tangis dan tawa di dunia nyata dengan lantangnya suara? Tapi bagaimana dengan pemandangan ini? Sungguh ini adalah protret anak-anak korban kemajuan zaman yang telah turut berkembang sebelum waktunya datang.

Potret ini membuat saya berpikir, bisa jadi bagi anak yang tidak memiliki telepon pintar, entah sebenarnya milik ayah, ibu atau kakaknya, mungkin tidak berani mendekat atau bahkan bergabung dengan perkumpulan kecil tersebut. Bukan tidak mungkin anak yang tidak memiliki telepon pintar menjadi minder dan menurun kepercayaan dirinya dihadapan teman-temannya. Walau sebenarnya bisa saja kejadian ini hanya disebabkan oleh seonggok gengsi kanak-kanak yang sebenarnya mereka belum memahami sepenuhnya, bahwa mereka adalah korban kemajuan zaman yang lebih dulu berkembang sebelum waktunya datang.

Mengapa saya katakan sebagai korban kemajuan zaman? Saat ini hampir seluruh akrifitas kehidupan manusia telah dimudahkan oleh beragam aplikasi yang ada di telepom pintar. Namun saking mudahnya efek berlebihan yang akhirnya terjadi adalah hilangnya aktifitas humanisme manusia sebagai makhluk sosial. 

Lihat saja bagaimana mudahnya saat ini memesan makanan, tinggal mengikuti petunjuk aplikasi lalu pilih menu dan pilih metode pembayaran maka tidak sampai dalam hitungan jam pesanan kita akan segera datang ke lokasi yang kita inginkan. Tanpa kita perlu ke luar rumah, pergi ke restoran, ke swalayan ataupun ke warung tetangga, yang padahal dalam aktifitas pergi ke luar rumah tersebut kita tengah menjadi makhluk sosial yang sesungguhnya karena berinteraksi dengan orang-orang yang kita temui dalam proses tersebut. 

Tapi kini ditengah gempuran beraneka aplikasi maka eksistensi manusia sebagai makhluk sosial begitu berat untuk ditampakkan. Karena segala sesuatu bisa dilakukannya secara pribadi dari dalam rumah sendiri dan menggunakam telepon pintar yang selalu ada di tangan, setiap hari.

Tidak hanya untuk kaum dewasa yang berbagai aktifitasnya kian hari kian mudah, dunia anak-anak pun demikian, berbagai sajian video dan permainan telah disediakan dengan begitu banyak pilihan. Tinggal cari lalu mainkan, atau cari lalu unduh dan temukan lawan mainnya. 

Sama dengan aktifitas membeli makanan, menonton video ataupun bertarung dalam suatu permainan dapat dilakukan begitu mudah, hanya dari dalam rumah, tanpa perlu pergi ke pusat permainan dan berlelah-lelah. Tapi efeknya jadi seperti ini, anak-anak tidak lagi peduli dengan jenis-jenis permainan yang ada di luar rumah, tidak perlu rasanya bisa mencintai petak umpet karena tampaknya bersepeda ramai-ramai pun tidak lagi menarik baginya.

Setiap diri kini hanya sibuk sendiri dengan telepon pintar di tangannya sendiri-sendiri.

Di sisi lain, pemandangan anak-anak yang hidupnya sudah erat sekali dengan gadget, perlu diamati apakah ini turunan dari gaya hidup orang tuanya serta lingkungan yang mendukungnya. Gaya hidup orang tua yang dimaksud di sini adalah kebiasaan yang hidup dalam satu atap rumah tetapi kedua orang tuanya  sibuk dengan gadgetnya masing-masing. 

Akibat dari hal ini maka anak-anak meniru perilaku tersebut, mengira ada yang menarik dari sebuah gadget, lalu mencobanya hingga akhirnya menemukan keseruan baru yang bisa dilakukannya secara fisik sendirian. Sesekali mungkin anak-anak meminta perhatian dari orang tuanya, namun kerena keduanya sibuk maka senjata menenangkan sang anak yang difikirnya ampuh adalah dengan memberinya gadget. Hal ini membuat anak ketagihan, dan lambat laun aktifitas sosialnya pun mulai berkurang.

Dampak sosial bagi anak jika telah akrab dengan gadget adalah selain senang dengan kesendirian walau dalam keramaian, juga menimbulkan kecemburuan sosial bagi anak lain yang tidak memiliki gadget. Dari yang punya gadget senang bermain dengan yang sama-sama punya walaupun aktualnya tetap saja duduk bersama yang tanpa tegur sapa, maka bagi yang tidak lunya gadget ia akan menarik diri dan memilih bermain dengan yang sama dengannya.

Ternyata cukup banyak dampak negatif dari gadget bagi dunia anak. Mulai dari kurangnya sosialisasi antar sesama, hingga perpecahan hubungan pertemanan antara yang punya dengan yang tidak punya.

Sesungguhnya masa kanak-kanak adalah masa-masa emas bagi para orang tua untuk membentuk generasi penerusnya menjadi pribadi yang terbaik. Sehingga pembiaran terhadap anak untuk lekat sekali kehidupannya dengan gadget hendaknya tidak boleh kebablasan. Boleh dilakukan namun secukupnya saja, sebatas pengenalan kemajuan teknologi dan kemampuan penggunaan. Bukan dijadikan "teman akrab" sehari-hari hingga mengesampikan dunia nyata yang sesungguhnya.

Jika anak harus hidup sesuai zamannya, lantas apakah para orang tua rela anaknya menyandang gelar "gadget selfish busy". Yang setiap saat sibuk sendiri, tidak banyak teman, jarang menggerakkan badan, hingga jarang berkata-kata secara nyata? Dari sisi kesehatan pun jelas dampaknya bukan bagi anak yang terlalu sering menatap layar telepon pintar? Lantas tunggu apa lagi?

Yuk ajarkan anak-anak hidup sehat secara lahir dan batin dengan membatasi aktifitasnya yang berhubungan dengan gadget secara berlebihan.

(dnu, ditulis sambil makan tahu pedas yang kayaknya gosong tapi kok enak ya hahaha...., 22 Oktober 2017, 18.04 WIB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun