Pemandangan yang sudah hampir tidak asing sebenarnya melihat anak-anak usia Sekolah Dasar yang sudah piawai sekali memegang telepon pintar, baik untuk mengoperasikan permainan atau pun mengirim sebuah pesan. Keprihatinan mulai muncul tatkala menyaksikan mereka saling adu keren telepon genggam atau berswa foto yang hasilnya akan dibagikan di media sosial. Anak-anak ini memang produk kemajuan zaman masa kini yang terkesan tidak keren kalau tidak memegang telepon seluler.
Kambali pemandangan mengharukan itu saya dapati Sabtu (21/10) di sebuah sekolah yang ketika itu ternyata sedang hari pembagian laporan hasil belajar. Beberapa anak tengah berkumpul bersama di sebuah lintasan tangga, dengan keadaan semua kepala tertunduk ke arah bawah fokus memperhatikan layar telepon genggamnya. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak memegangnya, semua asik dengan permainnnya masing-masing. Sesekali salah satu diantara mereka mengintip layar temannya untuk melihat seberapa hebat ia menyelesaikan permainnya itu, tentu dengan tanpa suara. Namun di bagian lain, beberapa di antara mereka tak sedikit pun mengangkat kepala tanda betapa khidmat ia terhadap benda yang dipegangnya.
Tetapi dibalik itu semua apakah pembaca sekalian tahu bahwa, selama beberapa menit saya memperhatikan, tidak sedikit pun terjadi interaksi suara antar mereka, tidak ada yang saling bicara, tidak ada yang bertegur sapa, tidak ada yang bersenda gurau, dan tidak ada satu pun yang saling memanggil nama temannya. Semua asik sendiri! The real kids zaman now! Menyedihkan!
Bukankah dunia anak adalah dunia yang penuh dengan berlari, berputar dan menari? Bukankah dunia anak adalah dunia yang penuh dengan interaksi? Dan bukankah dunia anak adalah dunia yang penuh dengan canda, tangis dan tawa di dunia nyata dengan lantangnya suara? Tapi bagaimana dengan pemandangan ini? Sungguh ini adalah protret anak-anak korban kemajuan zaman yang telah turut berkembang sebelum waktunya datang.
Potret ini membuat saya berpikir, bisa jadi bagi anak yang tidak memiliki telepon pintar, entah sebenarnya milik ayah, ibu atau kakaknya, mungkin tidak berani mendekat atau bahkan bergabung dengan perkumpulan kecil tersebut. Bukan tidak mungkin anak yang tidak memiliki telepon pintar menjadi minder dan menurun kepercayaan dirinya dihadapan teman-temannya. Walau sebenarnya bisa saja kejadian ini hanya disebabkan oleh seonggok gengsi kanak-kanak yang sebenarnya mereka belum memahami sepenuhnya, bahwa mereka adalah korban kemajuan zaman yang lebih dulu berkembang sebelum waktunya datang.
Mengapa saya katakan sebagai korban kemajuan zaman? Saat ini hampir seluruh akrifitas kehidupan manusia telah dimudahkan oleh beragam aplikasi yang ada di telepom pintar. Namun saking mudahnya efek berlebihan yang akhirnya terjadi adalah hilangnya aktifitas humanisme manusia sebagai makhluk sosial.Â
Lihat saja bagaimana mudahnya saat ini memesan makanan, tinggal mengikuti petunjuk aplikasi lalu pilih menu dan pilih metode pembayaran maka tidak sampai dalam hitungan jam pesanan kita akan segera datang ke lokasi yang kita inginkan. Tanpa kita perlu ke luar rumah, pergi ke restoran, ke swalayan ataupun ke warung tetangga, yang padahal dalam aktifitas pergi ke luar rumah tersebut kita tengah menjadi makhluk sosial yang sesungguhnya karena berinteraksi dengan orang-orang yang kita temui dalam proses tersebut.Â
Tapi kini ditengah gempuran beraneka aplikasi maka eksistensi manusia sebagai makhluk sosial begitu berat untuk ditampakkan. Karena segala sesuatu bisa dilakukannya secara pribadi dari dalam rumah sendiri dan menggunakam telepon pintar yang selalu ada di tangan, setiap hari.
Tidak hanya untuk kaum dewasa yang berbagai aktifitasnya kian hari kian mudah, dunia anak-anak pun demikian, berbagai sajian video dan permainan telah disediakan dengan begitu banyak pilihan. Tinggal cari lalu mainkan, atau cari lalu unduh dan temukan lawan mainnya.Â
Sama dengan aktifitas membeli makanan, menonton video ataupun bertarung dalam suatu permainan dapat dilakukan begitu mudah, hanya dari dalam rumah, tanpa perlu pergi ke pusat permainan dan berlelah-lelah. Tapi efeknya jadi seperti ini, anak-anak tidak lagi peduli dengan jenis-jenis permainan yang ada di luar rumah, tidak perlu rasanya bisa mencintai petak umpet karena tampaknya bersepeda ramai-ramai pun tidak lagi menarik baginya.
Setiap diri kini hanya sibuk sendiri dengan telepon pintar di tangannya sendiri-sendiri.