Pantai adalah salah satu objek wisata yang berpotensi menarik banyak pengunjung terutama pada musim liburan. Keadaan pantai yang bersih dan bebas dari sampah menjadi syarat utama atas daya tarik bagi seseorang untuk ingin kembali dan kembali lagi melepas penat di pantai itu.
Tapi tidak dengan Pantai Air Manis atau yang dikenal dengan Pantai Malin Kundang yang terletak di Sumatera Barat. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Bumi Ranah Minang (23/7), dan Pantai Air Manis yang melegenda menjadi salah satu tujuan utama yang wajib dikunjungi.
Pantai Air Manis adalah salah satu objek wisata ternama di provinsi Sumatera Barat, namun sangat disayangkan keadaan pantai ini tidak semanis namanya. Pengelolaan yang tidak teratur dari segala sisinya bisa ditemukan disini.
Mulai dari kurang lebih 2 kilo meter sebelum memasuki area pantai para calon pengunjung telah disuguhi lebih dari 4 kali anak-anak yang meminta uang di pinggir jalan. Dengan menggunakan kardus bekas mereka menginformasikan berapa jauh lagi perjalanan yang harus ditempuh menuju pantai sambil meminta uang seikhlasnya.
Begitu memasuki arena perhelatan pantai pengunjung akan diberi kebebasan sebebas-bebasnya. Mulai dari bebas parkir hingga bebas membuang sampah di mana saja.
Bebas parkir disini maksudnya adalah pengunjung yang membawa kendaraan bebas memarkir kendaraannya di mana saja. Bahkan hingga ke bibir pantai. Bebas. Asal bersiap saja jika mobil harus tergulung ombak.
Tidak terlihat adanya pengelola parkir di pantai ini. Semua pengunjung bebas berhenti dimana saja. Mungkin jika bisa parkir di tengah laut maka hal ini juga akann dilakukan.
Kebebasan yang ke dua adalah bebas membuang sampah dimana saja. Pengunjung yang hadir disana, begitu mengijakkan kaki di bibir pantai akan langsung disuguhkan pemandangan sampah yang amat banyak dan berserakan di berbagai titik. Mulai dari sampah plastic hingga sampah sisa makanan.
Jika pengunjung kelaparan dan kehausan di sini jangan khawatir karena para penjaja makanan dan minuman amat mudah ditemukan disini. Tapi jangan coba-coba mencari seonggok tempat atau tong sampah karena untuk bisa menemukannya sulitnya minta ampun! Baiklah, tempat sampah mungkin tidak ada yang peduli untuk menyediakan maka gerakan dan budaya bebas membuang sampah di pantai legendaris ini telah menjadi hal yang amat biasa.
Sebilah papan yang bertuliskan “dilarang membuang sampah sembarangan” pun saya tak berhasil menemukannya. Apakah ketidakberadaan hal-hal ini yang menyebabkan seseorang tidak turut bertanggung jawab untuk menjaga kebersihan area di sekitarnya? Entahlah.
Kebebasan yang berikutnya adalah bebas berfoto dengan batu legenda Malin Kundang dari sisi mana saja. Bahkan menginjak batu tersebutpun sebagai akibat dari rebutan posisi antar orang-orang yang ingin mengambil gambar kerap terjadi.
Lagi-lagi saya miris melihat kejadian ini. Terlintas tanya dibenak saya mengapa di sekitar batu dan Malin Kundang tersebut tidak didirikan pagar? Bukan untuk menjauhkan antara pengunjung dengan sang legenda, tapi hanya alasan ketertiban yang semestinya berlaku di pantai ini.
Batu tersebut adalah bukan batu biasa, keberadaannya membawa sebaris kisah yang amat melegenda. Hal ini juga menjadi cerita rakyat yang telah banyak digunakan oleh para guru di sekolah untuk mengajarkan kepada muridnya tentang sikap seorang anak yang tidak boleh melawan Ibu yang telah melahirkannya.
Hal ini berarti betapa kisah tesebut telah menjadi hal yang penting bagi dunia pendidikan di Indonesia. Maka menurut saya, segala hal yang terkait dengannya hendaknya dapat dijaga dengan sebaik mungkin. Mulai dari bentangan pantainya yang amat sangat perlu dijaga kebersihannya, penjagaan melalui kelilingan besi pagar di sekitar batu Malin Kundang, pengelolaan perparkiran pengunjung pantai, hingga dukungan masyarakat terhadap siapa saja yang tertarik berkunjug ke pantai ini dengan cara tidak melakukan permintaan retribusi ilegal yang entah apa tujuannya.
Sampah dimana-mana, parkir bebas hingga nyaris ke mulut pantai, serta bebas menginjak-injak batu legenda Mali Kundang menjadi pemandangan mengharukan yang ada di pantai ini.
Saya sebagai pelancong dari Jakarta dan sebagai pengagum budaya Sumatera Barat amat miris menyaksikan ini semua di depan mata. Sangat jauh dari ekspektasi.
Entah mengapa nampaknya tidak ada pengelola yang benar-benar resmi mengurus pantai yang menjadi tobjek wisata ini sehingga terjadi berbagai hal-hal negatif di sekitarnya.
Mungkin para pemuda yang merasa sayang dengan pantai ini bisa segera melakukan suatu gerakan pungut sampah dalam rangka mewujudkan rasa sayang terhadap legenda malin kundang.
Bayangkan, jika Pantai Air Manis ini benar-benar manis dari segala sisinya, bukan tidak mungkin akan semakin banyak wisatawan yang tertarik untuk berkunjung. Maka dengan demikian pendapatan daerah akan menigkat melalui penataan objek wisata yang maksimal baiknya.
Sayang kan pantai legendaris yang bernama Pantai Air Manis tapi tampaknya sungguh tak manis :(
(dnu, ditulis dalam perjalanan kembali dari Pantai Air Manis – Sumatera Barat, 23 Juli 2015, 14.05 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H