Lagi-lagi saya miris melihat kejadian ini. Terlintas tanya dibenak saya mengapa di sekitar batu dan Malin Kundang tersebut tidak didirikan pagar? Bukan untuk menjauhkan antara pengunjung dengan sang legenda, tapi hanya alasan ketertiban yang semestinya berlaku di pantai ini.
Â
Batu tersebut adalah bukan batu biasa, keberadaannya membawa sebaris kisah yang amat melegenda. Hal ini juga menjadi cerita rakyat yang telah banyak digunakan oleh para guru di sekolah untuk mengajarkan kepada muridnya tentang sikap seorang anak yang tidak boleh melawan Ibu yang telah melahirkannya.
Hal ini berarti betapa kisah tesebut telah menjadi hal yang penting bagi dunia pendidikan di Indonesia. Maka menurut saya, segala hal yang terkait dengannya hendaknya dapat dijaga dengan sebaik mungkin. Mulai dari bentangan pantainya yang amat sangat perlu dijaga kebersihannya, penjagaan melalui kelilingan besi pagar di sekitar batu Malin Kundang, pengelolaan perparkiran pengunjung pantai, hingga dukungan masyarakat terhadap siapa saja yang tertarik berkunjug ke pantai ini dengan cara tidak melakukan permintaan retribusi ilegal yang entah apa tujuannya.
Â
Sampah dimana-mana, parkir bebas hingga nyaris ke mulut pantai, serta bebas menginjak-injak batu legenda Mali Kundang menjadi pemandangan mengharukan yang ada di pantai ini.
Â
Saya sebagai pelancong dari Jakarta dan sebagai pengagum budaya Sumatera Barat amat miris menyaksikan ini semua di depan mata. Sangat jauh dari ekspektasi.
Â
Entah mengapa nampaknya tidak ada pengelola yang benar-benar resmi mengurus pantai yang menjadi tobjek wisata ini sehingga terjadi berbagai hal-hal negatif di sekitarnya.
Â