Entah ini fenomena macam apa yang terjadi di penghujung bulan baik yakni bulan suci Ramadhan. Sebuah acungan pisau dan tamparan dari ayah dan ibu yang ditujukan kepada anaknya terjadi di depan mata saya. Tanpa bisa saya berbuat apa-apa, karena jelas saya bukan siapa-siapa dari mereka.
Sore itu (16/7) saya mengakhiri puasa Ramadhan tahun 2015 ini dengan berbuka puasa di sebuah resto yang baru pertama kali saya cicipi hidangannya, di sebuah mall yang sudah berkali-kali saya jajaki medannya.
Arah depan meja tempat saya dan suami duduk, terdapat meja bundar lainnya yang diduduki oleh seorang perempuan dan dua anak laki-laki sekitar usia 6 dan 4 tahun. Ya, masa anak-anak yang sedang aktif-aktifnya.
Saya perhatikan dari jauh, dua anak tersebut bermain bersama, bersenda gurau hingga kadang-kadang ada salah satu yang menangis karena tersakiti oleh yang lainnya. Misalnya tidak sengaja tersenggol kakinya hingga terjatuh, atau hanya sekedar berebut mainan yang berujung tangisan.
Sang ibu yang duduk diantara dua anak tersebut terlihat sudah pasrah dengan ulah keduanya. Anak-anak tersebut terus berlari mengitari meja, berdiri diatas bangku, berteriak untuk saling ejek dan terus berebut sendok garpu yang ada diatas meja.
Sang ibu tetap bergeming dan terus asyik dengan gadgetnya.
Kami masih menunggu adzan magrib berkumandang, maka masih cukup waktu untuk saya memperhatikan ke sekeliling termasuk mereka.
Saya perhatikan sesekali sang ibu membentak ke dua anaknya dengan maksud meminta mereka diam dan menyudahi pertikaian ala anak-anak. Namun namanya anak kecil, baru 5 detik saja menuruti apa kata ibunya, sudah mulai lagi pertengkarannya.
Teriakan sang ibu dan celotehan anak-anak itu terus terdengar hingga datang seorang laki-laki yang saya pikir ia adalah ayahnya.
Tak lama adzan maghrib berkumandang, lalu kami pun bergegas berbuka puasa.
Lagi-lagi saya amat tertarik untuk memperhatikan kejadian di meja seberang. Karena ramai suara anak-anak itu yang tak kunjung henti dan juga karena posisi duduk mereka yang jelas-jelas satu garis lurus dengan mata saya.
Saat sang ibu dan ayah asyik bersantap untuk berbuka puasa, dua anak lelaki tersebut terus saja asyik dengan dunianya. Lagi-lagi, berebut mainan, saling pukul yang menurut saya itu adalah tanda sayang antara kakak dan adik, berdiri diatas bangku, hingga mencoba mendaki tangga melalui sisi samping tempat mereka duduk.
Pembaca sekalian penasarankah apa yang terjadi saat satu anaknya melompat-lompat kecil diatas bangku dan satu anak lainnya mencoba mendaki tangga yang ada di dekat tempat duduknya?
Seketika sang Ibu berteriak kencang untuk meminta anaknya duduk dan diam, sambil mengacungkan pisau tinggi-tinggi yang dipegang dengan tangan kanannya. Tatapan mata bulat yang mengerikan seakan bola matanya ingin keluar, membentak dan terus membentak seraya menakut-nakuti anaknya dengan pisau.
Ya, ini adalah resto yang spesialis menyajikan steak sebagai hidangan utamanya. Sudah jelas, ada pisau saat kami menikmati makanan tersebut.
Dalam waktu yang bersamaan, tangan sang ayah begitu lugasnya memberikan tamparan di mulut anak satunya yang sedang bermain panjat tebing di dalam resto. Saya perhatikan anak itu langsung diam, memegang mulutnya, nampak ingin menangis namun ditahan sekuatnya.
Sambil memberitahukan anaknya agar tidak memanjat tangga melalui sisi samping yang ada didekat tempat duduknya, dengan nada marah, sang ayah lagi-lagi memberikan tamparan kecil di bibir anaknya.
"Ibunya galak, ayahnya juga..." batin saya.
Entah ya apa yang ada dibenak laki-laki dan perempuan itu. Memarahi anaknya dengan perbuatan yang amat mengerikan.
Mampukah Anda membayangkan apa yang ada dibenak anaknya saat dimarahi sang Ibu sambil mengacungkan pisau ke arahnya? Pisau adalah benda yang amat mengerikan. Digunakan untuk memotong sesuatu, sisinya tajam, ujungnya runcing, bisa berdarah jika tersayatnya. Dan kini pisau diacungkan didepan mata anaknya???
Sementara, ayah yang seharusnya menjadi lelaki terbaik didalam keluarga, turut ambil bagian dalam kisah ini. Dengan begitu santainya ia memberikan tamparan kecil kepada anaknya. Walaupun kecil, tetap saja itu sebuah tamparan.
Memang pisau hanya untuk menakut-nakuti dan tamparannya hanya berupa tamparan kecil. Tapi ada satu hal yang perlu diingat, bagaimana dengan hati anak-anak itu?
Bukankah ayah ibu adalah sosok panutan pertama bagi seorang anak? Ibu yang baik, ibu yang sendu sebagai tempat mengadu, tiba-tiba marah dan bawa-bawa pisau???
Walaupun tidak mengena ke fisik anak-anak itu, tapi jangan dianggap tidak ada yang terluka.
Lupa kah dengan hatinya?
Hatinya terluka ayah... ibu...
Justru ini yang paling sakit. Ini adalah investasi jangka panjang yang telah bapak ibu tanamkan kepada anak-anak dalam rangka melukai hatinya. Dijamin, sampai mereka besar, mereka akan terus mengingat bahwa "pernah ada tangan ayah melayang ke mulut saya dan pernah ada acungan pisau dari ibu untuk saya".
Anak-anak itu pasti takut saat ditampar ayah, saat diacungkan pisau oleh Ibu.
Kebayang ngga sih ketakutannya anak-anak itu?
Apakah memarahi anak dengan gaya seperti ini dapat dibenarkan? Menurut saya sih tidak. Apapun tujuan dan maksudnya.
Mau bikin anak nurut? Jadi anak baik? Jadi anak sesuai perintah ayah ibunya? Jadi anak pendiam? Jadi anak yang lemah lembut?
Lupakah bahwa niat-niat seperti itu adalah sama juga kita sedang membentuk mereka untuk menjadi orang lain?
Usia anak-anak tersebut sepertinya memang masih usia yang senang bermain, berputar dan berlari. Kelihatan jelas bahwa mereka adalah anak-anak yang aktif dan sehat wal afiat fisiknya.
Bukankah ini adalah anugerah tersendiri memiliki anak-anak yang sehat jasmaninya? Kalau sudah begini, jangan lagi sakiti psikisnya.
Masih banyak cara memarahi atau memberitahu anak yang lebih elegan. Misalnya dengan diajak bicara baik-baik, katakan bahwa ini ditempat umum sehingga ada tata krama yang harus lebih dijaga. Atau dengan mengatakan bahwa anak baik adalah anak yang menjaga sopan santun dimanapun berada, dan ini di resto yang tentu banyak orang sehingga tidak ada alasan untuk berbuat yang tidak sopan.
Dan masih banyak cara-cara lainnya yang tentu seorang ayah dan ibu tahu benar bagaimana menghadapi buah hatinya masing-masing. Yang pasti bukan dengan tamparan dan acungan sebilah pisau.
Ketika ibunya semakin berteriak, saya perhatikan anak-anaknya semakin menjadi-jadi dan nyaris tak mendengarkan ocehan sang ibu. Saat ayah datang dengan muka marah, anaknya pun semakin cuek dan asyik dengan pertikaiannya.
Saya kira hanya saya yang memperhatikan kejadian di meja tersebut, ternyata pengunjung yang lainpun demikian adanya.
Agak kurang habis pikir, ini bulan baik, besoknya mau meraih kemenangan di hari lebaran, maghrib-maghrib pulak, eh kok ada orang tua yang galak tak terkira di depan mata.
Untuk semua ayah ibu yang pernah marah kepada anaknya dengan melampaui batas, saya cuma mau bilang ; boleh marah, tapi tetap harus diingat bahwa ada hati kecil yang harus dijaga.
(dnu, ditulis sambil ngemil semangkok bakso dan setoples nastar ditemani sejumput onde-onde :p, 17 Julii 2015, 15.30 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H