Malam perlahan menyelimuti jalanan kota, udara mulai terasa sejuk, dan aroma khas sate mulai menyeruak dari sudut kecil di pinggir jalan. Di sanalah Ibu Sitinah, seorang perempuan berusia 51 tahun, mengabdikan hidupnya untuk menyajikan seporsi kebahagiaan dalam bentuk sate ayam. Usaha yang dirintis sejak usia 25 tahun ini menjadi saksi perjuangan panjang seorang perempuan yang tak pernah lelah berusaha.
“Waktu umur 13 tahun, saya sudah mulai kerja bantu orang jualan sate,” kenang Ibu Sitinah sambil mengipas sate yang sedang dipanggang. Perempuan kelahiran Bantul ini mengawali perjalanan hidupnya sebagai pelayan penjual sate. Dengan penghasilan seadanya, ia membantu keluarganya bertahan hidup. Namun, siapa sangka, pengalaman sederhana itu menjadi pijakan awal bagi Ibu Sitinah untuk merintis usaha sendiri.
Pada usia 25 tahun, sebuah ide besar muncul dalam benaknya. “Saya pikir, kenapa tidak coba jualan sate sendiri? Saya sudah tahu caranya, tinggal modal dan keberanian saja,” ujar Ibu Sitinah sambil tersenyum. Berbekal tabungan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, ia membeli peralatan sederhana dan bahan-bahan awal. Sejak saat itu, ia resmi membuka warung sate kecil di pinggir jalan.
Hari-hari Ibu Sitinah dimulai sejak pagi buta. Setelah menutup warungnya pada pukul 00.00 malam, ia baru tiba di rumah sekitar pukul 00.30. Namun, istirahatnya tidak berlangsung lama. “Saya biasanya bangun jam 7 pagi untuk pergi ke pasar,” katanya. Di pasar, ia memilih ayam segar, kacang, dan bumbu-bumbu lainnya. Proses memasak pun dimulai setibanya di rumah.
“Biasanya selesai masak bumbu kacang, bersihkan ayam, motong, dan menusuk ayam itu sampai jam 1 siang,” jelasnya. Rutinitas ini dilakukan setiap hari tanpa henti. “Capek? Pasti. Tapi kalau sudah lihat pelanggan senang, capek itu hilang,” ujarnya dengan senyuman hangatnya.
Warung sate Ibu Sitinah buka pukul 5 sore. Lokasinya strategis, di pinggir jalan utama di selatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang sering dilalui banyak orang khususnya mahasiswa. Meskipun sederhana, warungnya selalu ramai. “Kadang sebelum jam 12 malam sudah habis. Tapi saya memang targetkan tutup di jam tersebut, biar ada waktu istirahat juga,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa dengan begitu, ia masih bisa meluangkan waktu untuk keluarga meski hari-harinya dipenuhi rutinitas padat.
Menurut pelanggan setianya, ada sesuatu yang istimewa dari sate buatan Ibu Sitinah. “Bumbunya itu beda, gurih tapi tidak terlalu manis. Ayamnya juga empuk dan tidak gosong,” ujar Arif, salah satu pelanggan yang mengaku sudah langganan.
Ibu Sitinah percaya bahwa kunci dari sate yang enak adalah bahan yang segar dan proses yang telaten. “Bumbu kacang itu saya buat sendiri, tidak beli langsung jadi, semuanya manual. Jadi rasanya lebih keluar,” jelasnya.
Namun, perjalanan Ibu Sitinah bukan tanpa rintangan. Ia pernah menghadapi masa sulit ketika harga bahan pokok melonjak tajam. “Waktu itu saya sempat bingung, mau naikkan harga takut pelanggan kabur, tapi kalau tidak dinaikkan, untungnya tipis sekali,” ujarnya. Keputusan tersebut, meskipun berat, ternyata membantu menjaga kepercayaan pelanggan setianya, yang tetap datang karena merasa harganya masih terjangkau dibandingkan tempat lain. Berkat kesabaran dan dukungan dari pelanggan setianya, ia berhasil melewati masa sulit tersebut dengan tetap mempertahankan harga seporsinya yaitu Rp 10.000.
Selain itu, Ibu Sitinah juga menghadapi tantangan dari sisi kesehatan. Rutinitas yang padat membuatnya harus ekstra menjaga kondisi tubuh. “Saya selalu minum jamu tiap pagi. Itu yang bikin badan tetap kuat,” katanya sambil tertawa kecil.
Meski sudah menjalankan usaha ini selama lebih dari dua dekade, Ibu Sitinah masih memiliki mimpi besar. “Saya ingin punya tempat yang lebih besar, biar pelanggan bisa makan dengan lebih nyaman,” ungkapnya.
Ketika ditanya apa yang membuatnya terus bertahan, jawabannya sederhana namun penuh makna. “Saya hanya ingin membuat orang bahagia. Melihat mereka makan sate dengan senyum, itu sudah cukup buat saya,” ujarnya.
Bagi banyak orang, sate mungkin hanya makanan biasa. Namun, bagi Ibu Sitinah, setiap tusuk sate adalah cerita tentang perjuangan, dedikasi, dan cinta. Aroma bumbu kacang yang khas bukan hanya hasil dari campuran bahan, tetapi juga hasil dari kerja keras dan ketulusan hati.
Di bawah langit malam Yogyakarta, warung kecil Ibu Sitinah menjadi tempat di mana orang-orang menemukan lebih dari sekadar makanan. Mereka menemukan inspirasi dari seorang perempuan yang tak pernah menyerah pada keadaan. Ibu Sitinah, dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan bahwa ketekunan dan kerja keras akan selalu membawa hasil yang manis, sama seperti rasa sate buatannya yang tak pernah gagal memanjakan lidah.
Ketika malam semakin larut, warung sate itu tetap memancarkan kehangatan. Orang-orang yang datang silih berganti membawa cerita mereka sendiri, dan Ibu Sitinah menjadi bagian kecil dari kebahagiaan itu. Di balik setiap tusuk sate, tersimpan kisah perjuangan yang menginspirasi siapa saja yang mendengarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI