Gemrisik dedaunan berbunyi, menemani siang bersama angin yang menggeliat sepoi. Pukul empat sore itu, waktu yang begitu tepat bagi Simbah bersantai di teras rumah. Yang selalu ditemani teh panas kental, Â sambil bersenandung lirih tembang-tembang tempo dulu.
"Eh..., udah pulang kamu, Din?." Sapanya padaku, ketika aku pulang dari sanggar lukis. Tidak perlu buka mata. Cukup mendengar suara sepedaku, dia sudah tahu bahwa aku datang.
"Iya, Mbah." Sahutku sopan.
"Gimana kegiatanmu tadi?."
"Cukup menyenangkan, Mbah. Ya... Meski anak-anak nampaknya capek, sih."
"Hehehe..., ya sudah, kamu istirahat. Eh, nggak lupa kan? Tadi lewat jalan sisi kiri?." Tanyanya sambil mengerutkan dahi.
"Hehehe... Â Ya pasti to, Mbah. Masa lewat sisi kanan. Yang ada juga ditabrak sama bis!." Sahutku sambil diikuti gelak tawa kami berdua.
Sudah kesekian kalinya Simbah memberi pesan "lewat jalan sisi kiri", setiap aku pamit pergi. Bahkan pesan itu meluncur juga kepada saudara-saudara, tetangga, bahkan teman-temanku kala datang ke rumah. Beberapa teman nampak aneh, dan bingung. Karena setahu kami, Indonesia menerapkan aturan ini. Dan jelas tidak mungkin kami langgar. Kalau dilanggar, yang pasti kecelakaan menghadang.
*
"Mbah, saya ngajar melukis dulu, ya?" Pamitku pada suatu sore kala itu, sambil mencium tangannya.
"Ya ya ya. Hati-hati, Nduk. Jangan lupa, lewat jalan sisi kiri." Aku kembali tersenyum geli. Lalu aku duduk di sampingnya, mumpung masih ada waktu bercengkrama.
"Mbah, kenapa Mbah selalu bilang, lewat jalan sisi kiri? Bukankah semua orang pasti lewat sisi kiri to, Mbah kalau berkendara?" Tanyaku santai.