Bruuuukkk...!
Suara sepedaku menabrak pot kembang sedap malam di depan rumah. Antusias diri menemukan jawaban dari pertanyaan beberapa bulan ini. Membuat diriku terlalu girang.
"Sarapan dulu, Nduk." Cegah Ibuku melihatku akan meluncur pagi ini.
"Teman-teman udah nunggu, Bu. Aku mau ngasih kepastian cepat-cepat sama mereka. Aku udah dapat tempat buat ekspresinya sanggar anak wayang!."
"Eeeee, ya wis, Nduk. Hati-hati aja, ya."
Segera kuluncurkan sepeda balapku menuju rumah Cahya. Rekan berkesenian yang ikut memikirkan nasib anak-anak sanggar. Begitu sewa lokasi kesenian tak diperpanjang secara tiba-tiba. Di rumah Cahya ini anak-anak berkumpul.Â
Karena halaman dan teras rumahnya cukup luas menampung ekspresi jiwa para insan muda. Anak-anak masih begitu antusias dengan segala keterbatasan. Lega, bahagia, bercampur haru kala melihat mereka nampak cerah ceria.
"Cahya, aku nggak bisa omong apa-apa ini. Di rumahmu aja mereka udah kumpul meriah banget." Kataku haru pada Cahya.
"Ya. Tapi kalau semua datang, nggak cukup di sini, Mir. Kamu udah dapat tempat lain kan?." Tanya Cahya.
"Ya. Hufff... Berminggu-minggu cari lokasi. Baru dapat kemarin. Langsung aku temui pemiliknya. Dan... langsung boleh!. Betul-betul rejekinya anak-anak." Jelasku padanya.
"Hebat kamu, Mir. Akhirnya mereka bisa berkreasi lagi. Jadi di pendopo anyar milik Pak Agus?."
"Nggak. Di joglo belakang rumah Pak Yatno. Joglo besar dan masih nampak terawat. Jadi, sementara menari dan gamelan dulu yang aktif ini. Kalau melukis dan membatik, perlu lokasi yang aman. Mengingat ada banyak pewarna."
"Hmmm.. .oke deh. Aku segera hubungi teman-teman. Biar segera bersiap bantu di rumah Pak Yatno."
*
"Mbak, saya turut senang. Menghidupkan kembali kesenian tradisi di kampung ini. Kemarin sempat berhenti lama. Anak-anak kangen. Yaaa...selain kesenian, anak-anak kan juga kumpul sama teman-teman." Kata Pak Yatno menjelaskan.
"Ya. Saya sangat berterima kasih, Pak. Mau menyediakan wadah bagi kami. Semoga ke depan akan semakin banyak yang berminat menggali potensi."
Sore itu segera aku menuju rumah Pak Yatno. Membantu membersihkan joglo, pringgitan, perangkat gamelan, bersama teman-teman. Karena hari minggu kegiatan seni tari sudah dimulai. Dan sorenya berharap gamelan juga bisa dimulai.
"Mbak, dulu pendopo itu dipakai buat pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Dan di pringgitan ini, selain buat belajar gamelan  juga buat mocopatan. " Jelas Pak Yatno sambil ikut membersihkan pringgitan. Sedangkan teman-teman asyik membersihkan pendapa dan sekitarnya.
"Kenapa nggak dipakai lama, Pak?."
"Ini milik kakek saya, Mbak. Dulu dia seorang dalang dan pelukis. Mulai tidak dipakai lagi sejak tahun enam puluh lima. Pada tahun itu kakek pergi dari desa ini ditemani nenek. Yaaa... Terkait isu politik pada waktu itu."
Aku menikmati penjelasan Pak Yatno yang khas logat jawa dan kadang-kadang melucu. Kemudian ia pamit untuk sholat maghrib. Dan aku masih menghela nafas. Duduk di lantai pringgitan merasakan capek yang hinggap sepintas. Juga teman-teman yang nampak rebahan di pendapa dengan gaya yang santai. Aku tersenyum melihat polah mereka.
Sore semakin pekat. Gelap semakin hinggap. Tapi enggan aku beranjak pergi dari pringgitan sejuk ini, ditemani tiupan angin yang dikirim dari sela-sela pohon kelapa. Aroma dedaunan timbul tenggelam menambah damai para pencium semesta. Aroma bunga sedap malam milik Ibu pun ikut terbawa angin menerpa wajah. 'Tunggu. Sedap malam?. Lho, Pak Yatno punya juga tanaman itu. Hmmm...' Batinku.
Tletakkk...!
Kembali aku disadarkan dengan bunyi dari ruang belakangku. Dahiku berkerut dan mataku yang terkantuk-kantuk oleh suasana sedikit terbelalak. Aku tidak tahu ruang apa. Dan Pak Yatno tidak memberi tahu juga. Aroma sedap malam kembali hadir semakin tajam. Seolah ke luar dari sela-sela pintu ruang itu. Aku menoleh ke arah pintu dan sela pintu. Ruangan yang sering orang bilang bernama gandhok.
Intuisi memimpinku membuka sedikit, membingkai celah kecil untuk mengintip. Dan rupanya tidak dikunci. Membuat niatku semakin liar. Celah kubuka semakin lebar. Remang-remang lentera kutangkap berwarna oranye dengan pilar-pilar kayu kokoh di dalam. Semerbak sedap malam semakin pekat dan mengusik kalbuku. Beranjak perlahan memasuki ruangan. Berjalan hanya lima langkah, lalu kudapati lukisan berbingkai cukup besar. Dengan panjang hampir dua meter, dan lebar yang lebih sempit dari panjangnya. Ah.... aku tidak paham soal ukuran bingkai lukisan.
Maha karya luar biasa. Lukisan wanita terpampang jelas. Detail yang mendekati asli. Hmmm... Siapa wanita ini. Sanggul dengan kebaya putih, jarik parang garuda dengan wiru rapi. Giwang mutiara terlingkari kristal, yang senada dengan cincinnya. Senyum elegan dari bibir yang sedikit tebal. Wah... Wajah wanita tempo dulu. Lukisan ini masih segar. Seperti baru saja habis dilukis.
"Jangan pandang lukisan itu lama-lama !"
Suara berat, serak, keras dan galak. Mengagetkan sekaligus menakutkan. Aku menoleh ke belakang, dan kudapati seorang lelaki tua berbadan agak besar, tinggi dan tatapannya galak. Suaranya menggelegar mengingatkan akan kelancanganku.
"Maaf, Pak." Gemetar suaraku dan tanpa banyak kata, aku segera ke luar dari ruangan dengan agak berlari.
*
Kegiatan seni tari dan gamelan berjalan cukup baik pada minggu yang cerah. Mengagumkan sekali antusias anak-anak sanggar wayang dalam menggali potensi.
"Nanti, seminggu akan ada empat kali kegiatan, Pak. Seni tari dan gamelan hari minggu. Membatik saya rencanakan hari kamis. Untuk melukis masih dicarikan hari sama teman-teman, Pak." Jelasku pada Pak Yatno.
"Bagus. Nanti kalau berkembang, lestarikan mocopatan, ya." Usulnya yang luar biasa. Yang kusikapi dengan positif.
Kubereskan kegiatan minggu sore dengan rekan-rekan tim sanggar anak wayang. Membersihkan hingga tuntas seperti semula. Kegiatan satu hari penuh memakan energi. Beberapa rekan memutuskan pulang cepat. Aku dan beberapa yang lain memilih istirahat sejenak. Pringgitan menjadi pilihan kami bercengkrama.
Gandhok, ruang di mana sumber aroma bunga pada hari yang lalu, kini berganti menebar aroma soga. Aroma yang membawaku kembali ke masa lalu. Kala eyang gemar membuat wiru untuk setiap jariknya. Dan aku menemaninya sambil melihat kepiawaiannya.
Pintu yang kala itu tertutup, kini sengaja terbuka. Teringat akan pengalaman beberapa hari lalu. Aku segan untuk ingin tahu. Meski serasa ada lambaian yang memanggilku masuk. Kukendalikan diri sekuat tenaga meski tak mampu juga. Beranjak perlahan mengintip dari samping pintu. Tertangkap lagi bingkai lukisan meski tak utuh. Aroma soga semakin kuat dan mengusik jiwaku. Kudapati nama pelukis itu di bawah kanan bingkai lukisan. Tertulis, KRT. Kusuma. Kali ini aku beruntung, tidak bertemu laki-laki tua yang garang itu.
*
Semua kegiatan di sanggar anak wayang berjalan baik. Cukup lancar sesuai dengan program-program kami. Memberi wadah bagi anak-anak untuk menggali diri. Mengembangkan potensi. Juga sebagai kesempatan bagi anak-anak untuk berpentas dan pameran. Semakin hari semakin berkembang, ramai, bersemangat. Mocopatan akan dibuka secepatnya. Dengan mendatangkan pengajar yang sudah paiwai dalam mocopat.
"Bu, aku lega." Kataku pada Ibu.
"Hehehe.... Mari bersulang!. Teh melati panas kesukaanmu."
Malam terangkai begitu syahdu. Semburat purnama malam itu menenangkan gejolak. Aku berbaring menengadah langit-langit kamar. Ditemani suara jangkrik yang bersahutan. Untaian senyum bahagia menghantarkanku memasuki gerbang mimpi.
Gamelan begitu anggun dimainkan oleh beberapa orang yang berpakaian jawa lengkap. Aroma kemenyan hadir menghasilkan balutan asap putih yang tersebar di sudut-sudut ruang. Aku tersenyum menyaksikan kehebatan mereka dari kejauhan.
Uhuk...
Suara mengagetkanku. Batuk ringan sebagai tanda panggilan supaya aku menoleh.
'Matur nuwun.' Suara berat dan dalam. Sedikit tampak senyuman yang kharismatik. Mengenakan beskap putih dan jarik sidomukti. Samar-samar namun jelas. Pria sedikit tua dan berbadan tinggi. Membawa teken dengan cincin batu di jari tengahnya. Aku menghadapnya dan membalas senyumannya.
'Sekarang.... , pintu utama sudah dibuka.' Jelasnya. Tanpa kupahami arti yang sebenarnya. Nampak cerah aura wajahnya.
Mataku terbuka perlahan. Kulihat jam dinding. Masih menunjukkan pukul empat pagi. Kembali aku merebahkan diri. Teringat akan rencana membatik pada hari ini. Beberapa daftar belanja seperti pewarna tekstil dan waterglass sekilas mengingatkanku.
*
Kegiatan membatik sore itu ditemani banyak rekan. Karena harus ada pendampingan lebih fokus kepada anak-anak. Aku taruh snack dan minuman di tangga menuju pringgitan. Mataku kembali tertuju pada pintu gandhok yang terbuka membuat celah kecil. Langkah pelan menuju pintu itu dan sedikit membukanya. Tak lagi aku mencium aroma bunga. Juga aroma soga. Kulihat lukisan itu tak lagi segar. Lukisan penuh debu dan nampak tak terawat. Seperti lukisan yang sudah puluhan tahun. Aku mundur dan menutup lagi pintu gandhok dengan senyuman.
Senja semakin syahdu dengan terpaan angin selatan. Senyum bahagia terlukis manis di setiap insan. Nuansa semesta mendukung kelegaan dalam membawa niatan suci para insan.
Yogya.16.06.20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H