Kubereskan kegiatan minggu sore dengan rekan-rekan tim sanggar anak wayang. Membersihkan hingga tuntas seperti semula. Kegiatan satu hari penuh memakan energi. Beberapa rekan memutuskan pulang cepat. Aku dan beberapa yang lain memilih istirahat sejenak. Pringgitan menjadi pilihan kami bercengkrama.
Gandhok, ruang di mana sumber aroma bunga pada hari yang lalu, kini berganti menebar aroma soga. Aroma yang membawaku kembali ke masa lalu. Kala eyang gemar membuat wiru untuk setiap jariknya. Dan aku menemaninya sambil melihat kepiawaiannya.
Pintu yang kala itu tertutup, kini sengaja terbuka. Teringat akan pengalaman beberapa hari lalu. Aku segan untuk ingin tahu. Meski serasa ada lambaian yang memanggilku masuk. Kukendalikan diri sekuat tenaga meski tak mampu juga. Beranjak perlahan mengintip dari samping pintu. Tertangkap lagi bingkai lukisan meski tak utuh. Aroma soga semakin kuat dan mengusik jiwaku. Kudapati nama pelukis itu di bawah kanan bingkai lukisan. Tertulis, KRT. Kusuma. Kali ini aku beruntung, tidak bertemu laki-laki tua yang garang itu.
*
Semua kegiatan di sanggar anak wayang berjalan baik. Cukup lancar sesuai dengan program-program kami. Memberi wadah bagi anak-anak untuk menggali diri. Mengembangkan potensi. Juga sebagai kesempatan bagi anak-anak untuk berpentas dan pameran. Semakin hari semakin berkembang, ramai, bersemangat. Mocopatan akan dibuka secepatnya. Dengan mendatangkan pengajar yang sudah paiwai dalam mocopat.
"Bu, aku lega." Kataku pada Ibu.
"Hehehe.... Mari bersulang!. Teh melati panas kesukaanmu."
Malam terangkai begitu syahdu. Semburat purnama malam itu menenangkan gejolak. Aku berbaring menengadah langit-langit kamar. Ditemani suara jangkrik yang bersahutan. Untaian senyum bahagia menghantarkanku memasuki gerbang mimpi.
Gamelan begitu anggun dimainkan oleh beberapa orang yang berpakaian jawa lengkap. Aroma kemenyan hadir menghasilkan balutan asap putih yang tersebar di sudut-sudut ruang. Aku tersenyum menyaksikan kehebatan mereka dari kejauhan.
Uhuk...
Suara mengagetkanku. Batuk ringan sebagai tanda panggilan supaya aku menoleh.
'Matur nuwun.' Suara berat dan dalam. Sedikit tampak senyuman yang kharismatik. Mengenakan beskap putih dan jarik sidomukti. Samar-samar namun jelas. Pria sedikit tua dan berbadan tinggi. Membawa teken dengan cincin batu di jari tengahnya. Aku menghadapnya dan membalas senyumannya.