Mohon tunggu...
Putri Dewi
Putri Dewi Mohon Tunggu... Seniman - Pengajar, Penari dan penulis puisi

Menulis adalah jiwa yang berkembang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Senja di Pantai Selatan

4 Mei 2020   19:33 Diperbarui: 12 Juni 2020   20:31 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dokumen

Hufff... Akhirnya. Sampai juga aku di tepi pantai. Tak kupungkiri memang, angin pantai selatan membawaku seolah terbang tanpa ingat harus mendarat lagi.

Sore ini aku kembali mengayuh sepedaku sampai pantai selatan dengan Ibuku. Rupanya dia masih kuat juga mengayuh sepeda selama satu jam lebih. Senyumnya menyapa ombak-ombak kecil yang bersuara nyaring indah.

"Wah..., capek juga ya. Seneng deh rasanya bisa sepedaan sampai sini. Hufff... " Kata Ibu sambil gerak senam kecil.

"Masih kuat juga ya. Udah umur masih oke banget tenaganya." Kataku.

"Yeee.... Jangan ngejek dong. Fisik masih oke nih." Katanya dengan genit. Aduh, memang genit sekali perempuan yang mendatangkanku ke dunia ini.

"Eh..., warung mana ya?. Sore-sore gini wajib ngeteh nih." Katanya.

"Yuk...!. Sukur-sukur ada jagung bakar juga." Kataku sambil dorong sepeda ke arah warung-warung.

"Nak, kita bawa makanan banyak lho. Masa masih mau beli jagung bakar sih?."

"Aduh, Mama. Sampai pantai gini enaknya jagung bakar lah.! "

"Ini ada lemper, resoles, tahu bakso, putu ayu, pukis....."

"Gampang lah, Ma. Ntar juga habis."

Kami menuju warung sederhana yang menyediakan makanan rumahan. Cukup jauh letaknya dari tepi pantai. Tidak apa-apa. Setidaknya bisa lihat sunset dari jauh. Kami memesan teh panas dua gelas dengan gula batu.

"Wah, teh di desa sini mantap ya. Kayak ada rasa sepat pahit gitu. Tapi juga ada aroma melatinya. Wuihhh mantap banget ini." Kata Ibuku sambil membau asap panas dari teh.

"Ma, itu ada nenek tua banget bawa kayu bakar. Kasihan banget lihatnya." Kataku pada Ibuku.
Entah dari mana nenek itu tiba-tiba saja lewat di depan warung dengan jalan yang agak lambat. Pakaian kemeja SD lusuh dengan jarik yang dipakai seadanya. Juga rambut yang hanya dicepol asal-asalan. Kulit sawo matang yang berkilau.

Kemungkinan seharian dia ada di area ini. Kayu bakar itu, di punggungnya, membuat dia membungkuk yang nampak berbeban berat. Aku menatap cukup lama. Membayangkan diri ini menjadi sepertinya. Iba yang dalam dan sedikit pilu rasanya.

"Kasihan ya, keluarganya ke mana ya?." Kata Ibu. Rupanya Ibu juga memperhatikannya.

"Mana tau lah, Ma." Aku masih menatapnya. Dan tak berapa lama, ia duduk di batu besar. Mungkin dia lelah. Dan ia pun membalas tatapanku dengan wajah lelah.

"Kamu kasih aja deh makanan bekal kita ini ke dia. Pasti dia senang. Cukuplah untuk bikin kenyang. Sukur-sukur keluarganya juga ikut makan." Pinta Ibuku.

Aku lalu membawa makanan dan pergi menyerahkan padanya semua bekal makanan jalan-jalan soreku.

"Mbah, ini ada makanan dari saya. Terima ya." Sapaku dengan senyum ramah.
Dia tidak menyahutku. Hanya senyum tipis dan mengangguk pelan. Makhlum aku orang asing baginya. Dia menerima makanan dariku, dan aku langsung meninggalkannya menuju warung semula.

Kembali aku duduk berhadapan dengan Ibuku. Seketika kami menatap kembali arah si nenek itu, tapi ia sudah lenyap. Mungkin baginya sudah cukup rejeki hari ini. Aku da ibuku kembali tersenyum lega, berbagi kebaikan senja hari.

"Untung ya, Ma. Nggak hujan sore ini. Jadi bisa lihat sunset. Lumayanlah samar-samar."

"Ya. Tapi sedikit orang ya kan. Nggak ada banyak turis kayaknya. Mungkin karena bukan musim liburan."

"Ma, aku mau nanya deh. Percaya sama Ratu Pantai Selatan itu?." Tanyaku bisik-bisik.

"Hmmm... Percaya nggak percaya sih. Tergantung si manusianya."

"Kalau Mama, percaya nggak?."

"Mama.. .percaya aja sih. Yaaaa.... cukup percaya lah."

"Mbak, Bu, maaf, saya mau tutup warung dulu ya. Udah magrib ini." Kata penjual warung. Kami langsung bayar.

"Mbak, maaf, kami duduk di sini dulu ya?. Tehnya belum habis nih." Pinta Ibuku.

"Oh...monggo. Silakan...silakan... "

Suasana pantai semakin samar-samar gelap, tapi semburat jingga masih menyala di antara air dan angkasa. Pantulan cahayanya menghiasi awan-awan menjadi warna abu-abu dan perak.

"Mau balik kapan nih?." Kata Ibuku.

"Bentar lagi lah. Masih terasa nyeri-nyeri lho betisku. Lima menit lagi ya." Pintaku.

"Ya udah, Mama mau selfie dulu ya. Jalan agak sana dikit biar nampak alam luasnya." Ibu beranjak sedikit menjauhiku. Aku pun akhirnya mengeluarkan HP, cek sosmed. Selang beberapa menit, Ibuku sudah menjauh dengan bahagianya sendiri.

Angin pantai kala itu begitu menggoda. Meliuk-liuk membawa aroma air laut yang menyegarkan dan aroma tanaman yang kadang terbawa tanpa sengaja. Juga aroma bebungaan yang kadang tercium, kadang hilang.

Tapi, bunga dari mana ya? Apakah di sekitar sini ada tanaman bunga semacam melati?. Fokusku pecah antara sosmed dan aroma bunga yang datang. Saat aku melepaskan pandanganku dari HP, seorang nenek tua duduk di seberangku agak ke samping.

 Duduk tertunduk dan diam. Aku tidak peduli. Semacam nenek-nenek yang akan pergi kondangan dan tidak ada yang istimewa bagiku. Kadang tunduk, kadang memandang lurus dengan sedikit senyuman. Lalu kembali tunduk.

Aku tetap fokus pada HPku. Tapi aku penasaran juga ya. Karena lama-lama aku cium aroma melati yang ternyata datang darinya.

Oh my God. Genit juga ini nenek. Parfumnya nyolok banget sih. Pakaiannya gitu amat juga. Kebaya hijau muda, rambut disanggul rapi, giwang dan cincim yang juga senada. Sooo stunning!!

Kurus, agak bungkuk, dan tanpa make up. Tapi sisa wajah ayunya masih muncul beberapa kali ketika aku curi-curi pandang. Aroma wanginya muncul makin pekat.

Ini udah hampir malam. Kenapa juga dia rapi banget gini ya. Betul-betul mau kondangan kali dia. Tapi kok sendirian ya. Keluarganya kok nggak antar. Kasihan. Jadi ingat almarhum nenekku saat seperti dia. Mana tega aku biarkan dia pergi sendirian.

"Mbah, mau ke mana?." Aku beranikan diriku bertanya.
Dia tidak menjawab. Senyum malu-malu saja.

"Rumahnya di mana, Mbah?."
Hanya senyum saja dia. Tidak mau jawab juga pikirku.

"Rumahku...., di sini." Jawabnya sangat pelan dan disertai senyum malunya yang khas.

Rumahnya di sini?. Di mana?. Kan ini warung nasi rames dan aku hanya pesan teh. Dan.... Penjual sudah pulang. Bukankah tadi penjual pamit tutup warung ya. Aku tadi bayar sama Mama untuk dua teh. Apa dia ibu atau nenek si penjual kali ya. Ah.. Mungkin saja.

"Monggo, saya pamit." Katanya sambil berdiri. Tapi dia sulit berdiri karena sudah renta dan sangat bungkuk. Aku spontan menolongnya.

Aroma melati itu menyengat sekali saat ini. Parfumnya mantap ini nenek. Dia berlalu ke belakang warung dan lenyap. Baiklah, aku panggil ibuku kali ini. Waktunya pulang.

Kembali kami bersepeda pulang, dengan jalanan yang lurus dan sedikit menanjak. Tentu ini makin bikin capek betis dan paha. Begitu ngos-ngosan hingga kami saling terdiam sampai tiba di rumah.

Tiba di rumah kami segera mandi dan duduk di depan TV.
"Mau teh lagi?." Goda ibuku yang nampaknya mulai tahu pikiranku.

"Yoi deh."

Teh panas kental gula batu menemani kami dalam menyimak acara debat politik di TV.

"Nda..., Mama tadi kok ngrasa aneh..., ya nggak sih?." kata Ibuku.

"Aneh apa, Ma?."

"Nenek-nenek yang bawa kayu bakar. Yang kamu kasih makanan tadi."

"Aneh gimana, Ma?"

"Pantai tadi kan destinasi wisata. Dari tiket masuk hingga warung, semua kemasannya modern. Penduduk sekitar pada buka warung dan hotel. Kok ada nenek-nenek lusuh masuk kawasan, dan kayak nenek-nenek era Mama waktu kecil ya. "

"Iya juga ya, Ma. Tapi, apa sih yang nggak mungkin. Keluarganya nggak urus lagi kali."

"Aku juga ada hal aneh, Ma. Ada nenek-nenek yang ikut duduk di warung tadi. Waktu Mama selfie di tepi pantai."

"Oh... Ya. Mama lihat. Tapi nggak terlalu ngeh sih. Cuma lihat aja agak jauh. Sebenernya Mama mau balik ke warung. Mau ajak kamu pulang. Tapi Mama lihat kamu lagi bantuin nenek berdiri ya kayaknya. "

"Ya itu, Ma. Aku ganjil aja sih. Jam segitu, ada nenek-nenek cantik. Mau kondangan kali. Ditanya, senyum-senyum doang. "

"Tapi, dia cantik lho, Nda. Untuk ukuran nenek renta, dia rapi dan.... Ya... Mempesona."

"Yang nggak nahan Ma. Wanginya duh!. Melati banget deh!. "

"Melati?." Kata Ibuku mengulangi kata-kataku dengan pelan dan mengernyitkan dahi.

"Ya, Ma. Kenapa?."

"No. No problem, dear. Nggak ada yang kebetulan, nggak ada yang mustahil. Setidaknya Mama jadi makin yakin aja." Katanya sambil senyum manis padaku.

"Tehmu mulai dingin. Mau nambah gula batu?."

"O... Kay." Jawabku tak menentu. Juga pikiranku yang bermain ke sana ke mari. Masih kusimpan cerita ini. Meski kutahu, tehku yang hanya menyaksikan kisah alam ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun