Mohon tunggu...
Dewi Leyly
Dewi Leyly Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - ASN

Life is a journey of hopes.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tajuk Memori (3)

19 Maret 2019   09:29 Diperbarui: 19 Maret 2019   09:37 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang tunggu terminal Purabaya / surabayaonline.co

"Maaf... kamu dik Lili, kan ?" tegas pria itu.

"Embuh... gak kenal," jawabku pendek.

"Iya... kamu dik Lili !" Joe tersenyum sebelum dia mulai nyerocos, "Aku sudah dari tadi nunggu di sini. Sejak jam setengah dua belas. Dari tadi kutunggu-tunggu koq nggak muncul-muncul ? Kupikir macet di jalan, tapi kok ya lama banget ? Aku tadi duduk di sana sambil membaca koran, " tunjuk Joe ke tiga deret bangku di belakangku, " Liat nih, sampai ludes semua koranku, sudah selesai kubaca semua saat aku terima SMS mu. Kadungaren kamu mengeluh capek nunggu, kamu datang jam berapa, Dik ?"

Mataku berkaca-kaca memandang wajah itu lagi setelah sekian lama. Haru bercampur bahagia. "Sejak jam 11.10 tadi Mas... aku benar-benar capek... Mas kok nggak menghubungi aku, sih ?" jawabku kesal.

"Ya ampun... sudah sejak tadi ??!" Joe tampak bengong. "Gitu kok ya nggak menghubungi aku sih ? HP ku lagi diblokir, biasaa... sudah tradisi."

"Dasar !" aku tersenyum.

"Gimana kabarnya, Dik ? Kamu agak kurusan ya sekarang ? Masih diet, tho ? Gimana kabar kerjaannya ? Udah krasan ya ? Udah cabut gigi berapa orang ?" tanya Joe beruntun.

" Kabarku baik. Mas juga gimana kabarnya ? Mas kulitnya nggak terlalu item juga ya sekarang ? Luluran terus tha ? Iya, aku masih adaptasi dengan suasana baru di Puskesmas. Udah banyak juga yang kucabut, malah kutawarkan voucher berhadiah langsung, tiap cabut satu gigi bonus satu... tapi nggak ada yang mau, tuh."

He he he... dan obrolan pun mengalir bebas seperti dulu lagi... Ah, seandainya waktu bisa diputar lagi... seandainya bukan ini akhir kisahnya... seandainya penyesalan ada di depan dan bukan di belakang... seandainya...

"Krrrruuuukkkk krrrruuukkkkk..." suara dua naga kelaparan terdengar dan kami pun saling memandang.

"Mas lapar ya ?" tanyaku menahan tawa.

"Kamu juga belum makan ya, Dik ? Kita cari makanan, yuk ?!" ajak Joe. Aku mengangguk.

" Tapi tukeran tas yang harus dibawa, ya ?" pintaku.

"Beres ," jawab Joe menyerahkan tasnya padaku dan kemudian mengangkat tasku yang lumayan... berat !!!

"Kamu bawa apa, Dik ? Bukan bom, kan ?!" kata Joe sedikit meringis mengangkat travel bag ku. He he he... kamipun melangkah menuju cafe yang ada di sekitar terminal itu.

" Nah, di sini nggak ada yang jualan ikan pee lagi ya... ??" canda Joe sambil masuk kafe donat di seberang kafe yang menjual nasi rawon dan sate.

Setelah memesan makanan dan minuman, kami duduk dan melanjutkan obrolan yang sempat terputus beberapa saat. Saling share mulai dari cerita-cerita masa lalu sampai yang paling gress saat ini. Tiada henti kisah-kisah mengalir dibarengi tawa dan terkadang tampang serius, bak dua sahabat yang lama tak jumpa. Puncaknya, ketika Joe bercerita tentang pergumulan yang harus dihadapinya setengah tahun yang lalu bahkan sampai dengan saat ini. Betapa sulit pilihan yang harus diambilnya... Aku tercekat. Kerongkonganku terasa kering. Cerita Joe ini adalah jawaban dari seribu pertanyaan yang masih mengganjal di hatiku selama ini. Tak sekompleks yang kubayangkan. Tapi justru karena sederhana itulah yang membuat keputusan yang diambil terasa berat.

" Dik, kuharap kamu bisa pahami keadaan ini. Biarlah ini menjadi kisah dan rahasia kita dengan Tuhan. Jika Tuhan sendiri yang pimpin, pasti itu yang terbaik buat kita. Selama ini, itulah yang menjadi pedomanku melangkah. Memang sungguh berat, tapi harus dilakukan. Aku berharap masih ada komunikasi di antara kita, saling support dan mendoakan... " mata Joe mulai berkaca-kaca.

"Iya... iya, Mas. Apapun yang terjadi, kita tetap kakak dan adik, masih ingat kata-kata itu kan ?!" potongku.

Hati kecilku menjerit, "Tuhan... kenapa ini harus terjadi ? Kenapa harus Joe ?!"

Gemuruh di dinding-dinding batinku ingin berontak, tapi...tidak !!! Aku tidak boleh egois. Aku tidak mau menjadi batu sandungan dalam pergumulan Joe. Terselip haru dan bangga mendengar penuturannya. Pengorbanan yang membutuhkan kesabaran dan ketabahan untuk melalui ini semua. Setitik hangat menyentuh dinding-dinding hatiku yang mulai membeku. Aku berusaha untuk tersenyum, walau pedih, tapi aku pasti baik-baik saja...

Tak terasa dua jam sudah berlalu. Setelah membayar bon di kasir, kembali kami kami melangkah melewati ruang tunggu terminal menuju bus antar kota yang menjadi tujuan keberangkatanku.

Joe mengantarku sampai naik ke atas bus. Dia duduk sebentar di sampingku. Meski kami saling diam, batin kami sedang berbicara banyak di sana. Hening sejenak hingga seorang pedagang asongan mengagetkan kami saat melemparkan tissue ke pangkuanku sambil berteriak, " Tissue... murah... murah... hanya seribuan.... he...he... he..."

"Tissue buat mengelap keringat," kata Joe sambil mengambil tissue dari pangkuanku dan mengembalikannya pada pedagang asongan itu.

"Nggak. Tissue untuk mengelap air mata," jawabku mengajak bercanda. Tapi... uups, sepertinya aku salah ucap, ya ?! Kulihat sekali lagi mata Joe berkaca-kaca menatapku...

Bbrrmm... bbrrmm... mesin bus mulai distarter. Sebentar lagi besi beroda ini akan bergerak. Memisahkan kami. Joe menggenggam erat tanganku sesaat.

"Sampai jumpa lagi ya," katanya.

Aku mengangguk, "God bless you, Mas," jawabku.

"God bless you too, dik," balas Joe. Sambil mengecup keningku. Aku menutup mataku.

Lalu kami berdua tersenyum.

Bus perlahan bergerak meninggalkan terminal Bungurasih, kulambaikan tanganku pada Joe dari balik jendela bus antar kota. Serasa ada serpihan hati yang tertinggal saat itu. Sekilas, kulihat Joe mengeluarkan sapu tangan dari saku belakang celananya. Entah ia mengelap keringat atau mengelap air mata...

Merambat pasti roda bergulir meninggalkan Surabaya menuju kampung halamanku tercinta. Seperti detak jarum jam yang berputar hari demi hari...

-Tamat-

# Purabaya dalam kenangan
# 22.05.05
# written by Dewi Leyly

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun