Hari demi hari berlalu, cerita terus terajut. Dalam sorot mata Joe yang teduh terungkap rasa yang begitu dalam.
"Dik, saat aku resah, kamu selalu memotivasiku. Saat aku bimbang, kamu selalu memberiku semangat. Saat aku jatuh cinta..., adik mau memberi aku apa ?" tanya Joe suatu sore. Aku terdiam, mencari kejujuran di bola matanya. Hening sejenak ketika kemudian muncul ide untuk menggodanya seperti biasa...
"Aku nggak pernah merasa memberi apa-apa sama Mas. Emangnya Mas lagi jatuh cinta ya ? Jatuh cinta sama siapa, hayo... ???" candaku.
"Dik... Kamu tuh..." kata-kata Joe terputus.
"Emangnya aku kenapa, Mas ?" tanyaku penasaran.
" Kamu tuh lucu, dik," serentak tawa kami pun lepas.
Selanjutnya, semakin kami saling mengenal karakter kami masing-masing, semakin dalam perasaan sayang yang tumbuh di hati. Bunga-bunga yang kuncup mulai bermekaran seolah menyambut musim semi yang telah tiba. Aku berdoa mempergumulkan hal ini, " Tuhan, apakah pria ini yang menjadi pendamping hidupku ?"
Dan... waktu yang menjawab semua pertanyaan itu.
Hey... ngomong-ngomong ini sudah jam dua belas siang. Aku tersadar ketika naga-naga di perutku mulai kelaparan. Tapi si Joe belum nampak juga batang hidungnya. Tumben-tumbenan dia terlambat lama begini. Semoga nggak ada apa-apa dengannya. Dengan cemas aku mengedarkan pandang ke sekelilingku, tak kudapati sosoknya di tengah keramaian. Kusapukan sekali lagi mataku menyibak hiruk pikuk terminal, namun itu sia-sia saja. Kuteguk sisa air dalam botol minuman kemasan itu hingga tandas tak tersisa.
"Tuhan... kemana dia ?!!" tanya batinku. "Apa dia nggak bisa datang ? Tapi kenapa dia tidak memberitahuku... ?" Perlahan butir-butir air mata menetes dari sudut mataku.
Setengah tahun yang lalu, Joe juga pernah menghilang. Kami kehilangan komunikasi selama beberapa minggu dan kemudian dia tiba-tiba datang dengan berita yang mengagetkan.