Siang yang terik di Jakarta. Rumahku yang memiliki dua pohon tanjung dengan dedaunan rimbun masih beruntung karena sesekali angin semilir masuk lewat pintu dan jendela yang terbuka. Meja kerjaku sengaja berada di area depan rumah yang punya akses untuk melihat tanaman di halaman dan mendengar gemericik air di kolam ikan.Â
Sesekali suara kucing mengeong, sepertinya anak Tahu yang aku beri nama Cimut dan Bocil sedang bercanda. Mereka masih suka bergulat dan berlarian ke sana ke mari di teras rumah. Cukup menghibur, walau aku hatiku sedang gundah.Â
Lagi-lagi aku menghela nafas dalam karena sesak membaca berita tentang korupsi di negeri tercinta ini. Maraknya korupsi tiada henti, entah kapan akan berakhir?
Sejenak aku duduk di pojok perpustakaan keluarga. Kursi kayu jati dengan jok dilapisi kulit berwarna hitam, semoga tak sehitam masa depan bangsa ini. Umur kursi ini hampir sama dengan umur kemerdekaan Indonesia. Dulu kursi ini ada di ruang keluarga Eni Enah dan Aki Sadja, nenek dan kakek yang tinggal di Kuningan, kota kecil di kaki Gunung Ciremai.Â
Sambil menikmati secangkir kopi, aku melanjutkan membaca buku yang berjudul Orange Juice for Integrity yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2016.
Baca artikel terkait di link ini: Koruptor Versus Orang Jujur
Aku ingin bercerita tentang para tokoh yang memilih hidup sederhana bukan karena tidak mampu, bukan pula karena tidak bisa kaya. Mereka memilih opsi itu karena fokus dalam menjalankan amanat rakyat, bukan fokus memperkaya diri. Â Menjadi abdi negara dan rakyat bukan berarti mencari kehidupan dengan memanfaatkan kekayaan negara dan rakyat.
Nenekku pernah menjadi anggota dewan di Kuningan. Sederhana saja hidupnya. Naik delman menuju gedung dewan adalah hal biasa yang tidak mengurangi wibawa. Beliau tidak mendapat gaji, melainkan hanya uang rapat atau insentif yang tak lebih dari beberapa kaleng susu.Â
Akhirnya aku bisa bernafas lega dan berbangga hati, setidaknya ada para tokoh bangsa dan pemimpin yang amanah, jujur, sederhana, dan sangat bertanggung jawab. Mereka menjadi fakta, catatan sejarah bahwa bangsa kita tidaklah memiliki budaya korupsi sejak lama. Dari mereka, kita bisa optimis menjadi pribadi berintegritas dan amanah bukanlah kemustahilan bagi kita.
Mari kita teladani jejak langkah mereka.
Baca artikel terkait di link : Bedah Buku Bukan Kota Wali
Siapa yang tak kenal Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, Menteri, dan Perdana Menteri Indonesia?
Mohammad Natsir memiliki prinsip bahwa jabatan dan kedudukan tak seharusnya mengubah kesahajaan. Kisah menarik dari beliau adalah kedudukannya sebagai menteri yang juga tokoh ternama di dunia internasional mengenakan kemeja bertambal. Sungguh sulit dipercaya. Sejauh ini kita sering melihat para pejabat dengan pakaian necis, perlente, dan merek ternama. Namun, sosok Natsir memang seperti itu adanya.
Seorang koruptor sampai bisa memberi hadiah mobil mewah untuk anaknya yang masih kecil. Begitu juga istrinya dibelikan pesawat jet pribadi dan rumahnya sangat mewah. Perjalanan ke luar negeri seperti orang biasa jalan ke pasar mencari sayur dan telur. Sungguh miris. Itu semua dilakukan dengan merampok uang negara dan uang rakyat.
Seorang guru besar di Universitas Cornell, Amerika Serikat, sampai terheran-heran ketika berjumpa dengan Natsir. "Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintahan mana pun," kata George McTurnan. Natsir hanya memiliki dua stel kemeja kerja yang sudah tidak begitu bagus. Ia tidak malu menjahitnya bila robek.Â
Natsir pernah menolak mobil mewah yang diberikan tamunya. Padahal mobilnya sudah kusam. Natsir berpandangan pantang menerima pemberian seseorang yang lantas akan menjadi beban dalam menjalankan amanah. Bertahun-tahun Natsir tidak malu menumpang di paviliun rumah Prawoto Mangkusasmito dan sempat juga di rumah Agus Salim sebelum mendapatkan rumah dinas.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberikan teladan bahwa setiap orang, siapa pun dan apa pun jabatannya, harus taat kepada hukum. Waaahhh ... Penting sekali kita meneladani nasihatnya. Sehari-hari kita disuguhi berita adanya pejabat yang kebal hukum. Ada juga yang bisa mengubah undang-undang demi keluarga, anak, istri, menantu, dan para kroni.
Sultan ternyata suka mengendarai mobil sendiri, tanpa ajudan. Saat pergi ke Pekalongan, entah mengapa, Sultan melakukan kesalahan. Dia melanggar rambu lalu lintas. Seorang polisi memergokinya. "Priiiitttt ..." Polisi itu menghentikan mobil Sultan.
"Selamat pagi!" sambil memberi hormat. "Boleh ditunjukkan rebewes." Sultan tersenyum dan memenuhi permintaan tersebut. Saat itu polisi jadi tahu bahwa orang yang ditindaknya adalah Sultan. Gugup dong! Namun, ia segera memperbaiki sikap demi wibawanya sebagai polisi.
"Bapak melanggar verboden. Tidak boleh lewat sini. Ini satu arah!" jelasnya. "Benar saya salah. Buatkan saja saya surat tilang,' kata Sultan saat melihat wajah polisi itu tampak ragu.
Sikap yang mencerminkan integritas tinggi ditunjukkan oleh Saifuddin Zuhri. Sebagai mantan menteri sangatlah mengherankan ketika dia berjualan beras di Pasar Glodok. Zuhri tidak mau mengambil uang pensiunnya, melainkan memberi nafkah kepada keluarga dari hasil berjualan. Konon, uang pensiun itu tidak disentuh hingga terkumpul dan dibelikan sebuah rumah yang tidak ditempati, tetapi dijadikan Rumah Bersalin Muslimat NU.
Zuhri mengatakan, "Menjadi pejabat bukan berarti memanjakan kerabat dan sahabat." Dia malah tidak mau menghajikan adiknya sendiri melalui Departemen Agama saat menjabat menjadi menteri.Â
Setali tiga uang dengan Zuhri, yaitu Sjafruddin Prawiranegara yang pernah menjadi Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Safruddin menegaskan bahwa malu itu bila mengambil milik orang lain atau mengambil uang negara yang bukan hak kita. Itu pencuri namanya. Selama 207 hari saat suaminya memimpin PDRI, istrinya yang bernama Halimah berjualan sukun goreng demi menghidupi empat anaknya. Mereka tidak malu menjalankan hal tersebut.Â
Satu hal lagi yang menarik adalah Sjafruddin mengajarkan agar jangan bergantung pada orang lain. Kalau tidak penting sekali, jangan meminjam uang. Jangan pernah berhutang. Padahal dia pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. menteri keuangan, dan wakil perdana menteri.
Mari belajar tentang sembilan nilai anti korupsi atau sembilan nilai integritas.
Pertama, jujur yaitu lurus hati, tidak berbohong, dan tidak curang. Kedua, peduli yaitu mengindahkan, memperhatikan, atau menghiraukan orang lain. Ketiga, mandiri yaitu tidak bergantung pada orang lain. Keempat, disiplin yaitu taat terhadap peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Kelima, tanggung jawab yaitu siap menanggung akibat dari perbuatan yang dilakukan, tidak buang badan. Keenam, kerja keras yaitu gigih dan fokus dalam melakukan sesuatu, tidak boleh asal-asalan. Ketujuh, sederhana uaitu bersahaja, tidak berlebih-lebihan. Kedelapan, berani yaitu mantap hati dan percaya diri, tidak gentar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya. Kesembilan, adil yaitu berlaku sepatutnya dan tidak sewenang-wenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H