Berlibur di Bandung pasti selalu seru ya K-Ners. Siapa yang kangen Kota Kembang atau Paris Van Java nih? Yuk! Ikuti keseruanku bareng Teteh menyusuri jalan Braga yang legendaris.
Jalan Braga adalah salah satu jalan bersejarah di Bandung. Dahulu jalan ini dikenal sebagai Paris Van Java. Nama dari jalan ini tetap dipertahankan karena begitu banyak kenangan yang tersirat. Bila kita menyusuri jalan Braga mulai dari ujung utara ke arah selatan menuju gedung Konferensi Asia Afrika dan alun-alun Kota Bandung akan menjumpai banyak hal menarik.Â
Entah mengapa aku dan Teteh merasa lapar lagi begitu melihat sebuah kafe di sisi kanan jalan Braga. Bangunan lawas yang masih dipertahankan makin menarik hatiku untuk segera masuk dan mencicipi menu makanan dan minumanya. Padahal tak lebih dari satu jam lalu kami sudah menyantap bubur Mang Oyo yang sedap itu ha3 ... Efek cuaca sejuk bikin perut sering keroncongan dan lidah minta jatah kulineran.
Salah satu kisah yang beredar mengenai asal usul nama Braga diambil dari nama perkumpulan Tonil "Braga" yang didirikan Pieter Sijthoff pada tahun 1882 di sana. Lokasi Myloc Coffe and Cafe ada bangunan cagar budaya di  jalan Braga no. 111-113-115 dibangun tahun 1940. Dahulu bangunan ini pernah diisi oleh perusahaan Luxebrood en Banketbakkerij yang kemudian menjadi Chong Brother dan Bioskop Braga Sky.
Selesai menyantap fatucinni carbonara dan minum segelas susu coklat Teteh langsung semangat lagi melanjutkan perjalanan. Kami menikmati suasana pagi yang cerah. Ada Bandros atau Bandung Tour on Bus berwarna biru melintas jalan Braga. Tampak para penumpangnya berwajah ceria.Â
Baca juga: Naik Bandros Keliling Bandung
Aku mengajak Teteh mampir di  Toko Roti Sumber Hidangan yang terletak di sisi kiri jalan. Berdasarkan catatan sejarah, toko ini sudah melayani para pembeli sejak tahun 1929. Semula nama toko ini adalah Het Snoephuis yang memiliki arti Rumah Manis. Uniknya lagi, toko roti ini masih mempertahankan nama Belanda di menu yang disajikan seperti  Krentenbrood, Ananastaart, Suiker Hagelslag, Likeur Bonbon, Bookkepoot, Doublet, hingga Mocca Truffle.Â
Di sepanjang jalan Braga terlihat banyak lukisan yang dipajang berjejer. Â Ada lukisan pemandangan, lukisan benda, lukisan kaligrafi sampai lukisan manusia. Hadirnya para seniman lukisan berdampak pada munculnya bentuk ekonomi kreatif lain di sana, seperti halnya fotografi dan kuliner.Â
Baca juga: Congo Sensasi Kuliner di Galeri Seni
Teteh yang juga memiliki hobi melukis tentu sangat senang berlama-lama menatap berbagai lukisan sambil berjalan perlahan -kadang berhenti sejenak dan memberi komentar. "Bu ... Bagus ini lukisan bunga tulipnya. Aku mau coba ya ..."Â
Aku tertarik untuk duduk sejenak di bangku depan sebuah bangunan yang bertuliskan Gas Block 1930. Sebelum dirubah fungsinya, bangunan ini merupakan gedung Perusahaan Gas Negara (PGN) hasil rancangan R.L.A. Schoemaker. Bangunan terletak di jalan Braga dibangun pada tahun 1919. Saat ini bangunan diberi nama The Gas Block Braga 1930 yang difungsikan sebagai hotel dan restauran.Â
Jalan-jalan pun dilanjutkan menuju Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia Afrika Nomor 65 Bandung. Gedung ini dibangun pertama kali pada tahun 1895 sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang tinggal di Bandung dan sekitarnya. Banyak di antara mereka adalah pengusaha kebun teh dan opsir Belanda. Perkumpulan yang dikenal dengan nama Societeit Concordia pada tanggal 29 Juni 1879.
Sehubungan dengan keputusan pemerintah Indonesia (1954) yang menetapkan Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika, maka Gedung Societeit Concordia terpilih sebagai tempat berlangsungnya konferensi. Kegiatan ini berlangusng pada tanggal 18 sampai 24 April 1955. Gerakan Non-Blok pertama ini adalah momen sangat penting dalam sejarah politik luar negeri Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H