Sepuluh hari lagi tepatnya 17 Agustus 2022 adalah peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-77. Aku merasa perlu sejenak menilik kembali momen sejarah yang menyulutkan semangat. Ya ... Sebagai generasi berusia pertengahan ini (50 tahun) tentu perlu terus memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara di sisa usia.
Tetiba sambil membereskan buku di perpustakaan keluarga, aku teringat dengan kisah perjuangan seorang perempuan luar biasa. Dalam buku Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah karya Mulyono, salah satu tokoh hebat itu bernama Inggit Garnasih yang dilahirkan pada 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Kabupaten Bandung. Entahlah ... Kali ini aku sedang dilanda romantisme masa perjuangan yang berkaitan dengan tokoh perempuan.
Ada satu buku hadiah warisan dari Bapa berjudul 'Di Bawah Bendera Revolusi' berisi puluhan artikel karya Soekarno. Beragam media massa seperti Suluh Indonesia Muda, Fikiran Ra’jat, Pandji Islam, Pemandangan, dan Pembangun telah menerbit karya tersebut dari tahun 1926 hingga tahun 1941.
Tulisan yang menggugah semangat bangsa Indonesia, tapi membuat penjajah Belanda meradang. Saat itu Soekarno dan Inggit sedang membina rumah tangga dan berjuang bersama-sama dalam masa penjajahan Belanda yang sulit. Masuk penjara dan pembuangan ke luar Jawa dijalani bersama dengan bekal cinta dan kesetiaan Inggit kepada Soekarno.
Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Soekarno masih kuliah di Technische Hoge School (THS) −saat ini adalah Institut Teknologi Bandung (ITB)−. Perbedaan usia 13 tahun, di mana Inggit berusia 35 tahun ketika menikah, sedangkan Soekarno 22 tahun.
Aku juga teringat pernah berkunjung ke penjara Banceuy Bandung bersama anak bungsu, Teteh. Tugasku mengajak anak untuk tak melupakan sejarah. Sambil hunting foto kota tua Bandung yang berisi bangunan bergaya arsitektur kolonial. Kebetulan Teteh yang waktu itu masih SD memang punya hobi fotografi. Karya fotografi Teteh telah tayang di sini.
Pada tahun 1927, Inggit menjadikan rumahnya sebagai tempat deklarasi berdirinya organisasi politik Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap penjajah Belanda pada bulan Desember 1929 bersama tiga rekan dari PNI, Maskoen, Soepriadinata, dan Gatot Mangkoepraja. Mereka ditangkap di Yogyakarta dan dipenjarakan di Penjara Banceuy ini.
Inggit menggunakan beragam taktik agar bisa masuk penjara untuk mengirimkan pesanan Soekarno seperti uang, makanan, koran, dan buku. Ia rela berpuasa selama tiga hari agar bisa menyelipkan buku di dalam kain kebaya yang dikenakannya. Dari perjuangan itulah, lahir teks pidato Indonesia Menggugat.
Penjara Banceuy dibangun oleh penjajah Belanda pada tahun 1877, semula penjara ini digunakan untuk tahanan politik tingkat rendah dan kriminal. Di penjara ini ada 2 macam sel yaitu sel untuk tahanan politik di lantai atas dan sel untuk tahanan rakyat jelata di lantai bawah. Sel penjaranya sendiri berukuran 1,5 x 2,5 meter. Inilah yang menjadi titik tolak kenapa bangunan ini bersejarah.
Atas putusan pengadilan, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Saat itu Inggit menyambung hidup dengan menjahit baju serta menjual kutang, bedak, rokok, sabun, dan cangkul. Selama Soekarno dibui, ia juga berperan sebagai perantara agar suaminya tersebut dapat terus berhubungan dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya.
Kesetiaan Inggit kepada Soekarno juga terbukti kala ia menjual segala miliknya, termasuk rumah keluarga dari ibunya, Hal itu dilakukan kala Soekarno diasingkan ke Ende di Pulau Flores tahun 1933. Selama lima tahun, mereka hidup di Ende. Pada 1938, lalu pindah ke Bengkulu karena Soekarno terserang malaria. Inggit tetap setia mendampingi Soekarno.
Selama 20 tahun, Inggit setia mendampingi Soekarno. Panggilan sayang Soekarno kepada Inggit adalah 'Nyai'. Sedangkan 'Ngkus' atau 'Kus' adalah panggilan cinta untuk Soekarno dari perempuan berjiwa tegar ini. Cintanya telah terkoyak saat Soekarno ingin menikahi Fatmawati. Inggit tak sudi di madu. Akhinya ia pun melepaskan Soekarno kepada Fatmawati. Ia meminta untuk dipulangkan ke Bandung. Mereka akhirnya resmi bercerai pada 29 Januari 1943.
Hingga usia senja, Soekarno tetap mengingat Inggit. Bahkan, saat Inggit terbaring sakit, Soekarno datang mengunjungi. Kala itu Soekarno bertanya, ”Sakit apa, Nyai?” Inggit hanya menjawab singkat, ”Biasa Ngkus, penyakit rakyat” (Nuryanti, 2006).
Inggit bukan sekadar istri bagi Soekarno. Lebih dari itu, dia adalah sosok 'ibu', kekasih, sekaligus kawan dalam perjuangan. Inggit hadir pada saat-saat yang paling menentukan. Dia merupakan perpaduan antara maternalitas dan feminitas.
Siapa sangka, pertemuan pada 1960 itu menjadi percakapan terakhir. Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Juni 1970, Soekarno berpulang ke pangkuan Tuhan. Dengan badan ringkih, Inggit datang ke Jakarta untuk melihat jasad Soekarno. Saat itu terdengar suara sayu, ”Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun…” (Nuryanti, 2008).
Inggit wafat pada tanggal 13 April 1984 dan dimakamkan di TPU Caringin, Bandung. Pemerintah RI menjadikan kediamannya sebagai museum dan Jalan Ciateul di Bandung diganti menjadi Jalan Inggit Garnasih. Hal tersebut dilakukan guna mengenang jasa Inggit yang besar bagi perjuangan kemerdekaan RI. Al-Fatihah ...
...
Oya ... Teman-teman Kompasiana jika berkesempatan mengunjungi Bandung. Silakan naik Bandros yang keren banget. Keliling kota sambil belajar sejarah. Seperti yang aku lakukan bersama Teteh di sini.
Atau gowes tipis keliling kampus tercinta ITB. Artikel lengkapnya ada di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H