Inggit menggunakan beragam taktik agar bisa masuk penjara untuk mengirimkan pesanan Soekarno seperti uang, makanan, koran, dan buku. Ia rela berpuasa selama tiga hari agar bisa menyelipkan buku di dalam kain kebaya yang dikenakannya. Dari perjuangan itulah, lahir teks pidato Indonesia Menggugat.
Penjara Banceuy dibangun oleh penjajah Belanda pada tahun 1877, semula penjara ini digunakan untuk tahanan politik tingkat rendah dan kriminal. Di penjara ini ada 2 macam sel yaitu sel untuk tahanan politik di lantai atas dan sel untuk tahanan rakyat jelata di lantai bawah. Sel penjaranya sendiri berukuran 1,5 x 2,5 meter. Inilah yang menjadi titik tolak kenapa bangunan ini bersejarah.
Atas putusan pengadilan, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Saat itu Inggit menyambung hidup dengan menjahit baju serta menjual kutang, bedak, rokok, sabun, dan cangkul. Selama Soekarno dibui, ia juga berperan sebagai perantara agar suaminya tersebut dapat terus berhubungan dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya.
Kesetiaan Inggit kepada Soekarno juga terbukti kala ia menjual segala miliknya, termasuk rumah keluarga dari ibunya, Hal itu dilakukan kala Soekarno diasingkan ke Ende di Pulau Flores tahun 1933. Selama lima tahun, mereka hidup di Ende. Pada 1938, lalu pindah ke Bengkulu karena Soekarno terserang malaria. Inggit tetap setia mendampingi Soekarno.
Selama 20 tahun, Inggit setia mendampingi Soekarno. Panggilan sayang Soekarno kepada Inggit adalah 'Nyai'. Sedangkan 'Ngkus' atau 'Kus' adalah panggilan cinta untuk Soekarno dari perempuan berjiwa tegar ini. Cintanya telah terkoyak saat Soekarno ingin menikahi Fatmawati. Inggit tak sudi di madu. Akhinya ia pun melepaskan Soekarno kepada Fatmawati. Ia meminta untuk dipulangkan ke Bandung. Mereka akhirnya resmi bercerai pada 29 Januari 1943.
Hingga usia senja, Soekarno tetap mengingat Inggit. Bahkan, saat Inggit terbaring sakit, Soekarno datang mengunjungi. Kala itu Soekarno bertanya, ”Sakit apa, Nyai?” Inggit hanya menjawab singkat, ”Biasa Ngkus, penyakit rakyat” (Nuryanti, 2006).
Inggit bukan sekadar istri bagi Soekarno. Lebih dari itu, dia adalah sosok 'ibu', kekasih, sekaligus kawan dalam perjuangan. Inggit hadir pada saat-saat yang paling menentukan. Dia merupakan perpaduan antara maternalitas dan feminitas.
Siapa sangka, pertemuan pada 1960 itu menjadi percakapan terakhir. Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Juni 1970, Soekarno berpulang ke pangkuan Tuhan. Dengan badan ringkih, Inggit datang ke Jakarta untuk melihat jasad Soekarno. Saat itu terdengar suara sayu, ”Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun…” (Nuryanti, 2008).
Inggit wafat pada tanggal 13 April 1984 dan dimakamkan di TPU Caringin, Bandung. Pemerintah RI menjadikan kediamannya sebagai museum dan Jalan Ciateul di Bandung diganti menjadi Jalan Inggit Garnasih. Hal tersebut dilakukan guna mengenang jasa Inggit yang besar bagi perjuangan kemerdekaan RI. Al-Fatihah ...
...