Setiap individu mengalami perubahan melalui serangkaian tahap perkembangan. Pelajar dalam hal ini masuk dalam tahap perkembangan remaja. Remaja, mengarahkan rasa ingin tahu yang tinggi ke arah hal-hal positif berupa kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif adalah penting. Jika tidak, dikhawatirkan para remaja dapat terjerumus dalam kegiatan atau perilaku negatif, misalnya mencoba merokok dan narkoba, melanggar aturan lalu lintas, dan lain sebagainyaÂ
Transportasi merupakan kebutuhan krusial dalam kehidupan manusia, memudahkan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain melalui berbagai alat transportasi. Di antara banyaknya moda transportasi, sepeda motor menjadi pilihan utama sebagian besar masyarakat Indonesia, terbukti dari angka kepemilikan yang terus meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, jumlah sepeda motor di Indonesia meningkat sebesar 2 juta lebih dari tahun sebelumnya, dan pada tahun 2021 meningkat lebih dari 5 juta dibandingkan tahun 2020.
Sepeda motor digemari karena kepraktisan, efisiensi, biaya relatif murah, dan biaya operasional lebih rendah dibandingkan mobil Namun, popularitas mereka telah menyebabkan tidak hanya orang dewasa tetapi juga individu di bawah umur, termasuk mereka yang duduk di bangku SD, SMP, dan bahkan SMA, yang menggunakan sepeda motor meskipun keterampilan dan kematangan emosinya belum memadai. Anak-anak di bawah usia legal untuk mengemudi kurang memiliki stabilitas mental, kematangan emosi, dan perkembangan psikologis yang diperlukan untuk pengoperasian sepeda motor yang aman.
Meluasnya penggunaan sepeda motor oleh anak di bawah umur melanggar peraturan lalu lintas. Pelanggaran yang umum terjadi antara lain mengemudi ugal-ugalan, tidak memakai perlengkapan berkendara yang sesuai seperti helm, tidak adanya kaca spion, knalpot berisik, dan masih banyak lagi, Anak di bawah umur tidak boleh mengendarai sepeda motor karena melanggar peraturan lalu lintas yang diatur dalam Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 22 Tahun 2009 khususnya Pasal 81 Ayat (2), yang mengamanatkan kepemilikan Surat Izin Mengemudi.
Metode
Metodepelaksanaandalam meningkatkan perlindungan hukum bagi remaja yang tidak memiliki sim melibatkan dua tahapan penting. Pertama, melalui pemaparan materi yang komprehensif tentang hak-hak hukum pelanggaran, termasuk proses hukum yang terlibat dalam kasus pengendara yang tidak memiliki sim, hak-hak yang dimiliki korban selama proses hukum, dan sumber daya hukum yang dapat mereka akses untuk mendukung perjuangan mereka. Langkah kedua melibatkan diskusi yang aktif, di mana peserta diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka terkait upaya yang dapat dukungan moral dan sosial kepada mereka yang mungkin menghadapi situasi serupa.
Hasil Dan Pembahasan
Penyuluhan mengenai perlindungan hukum adalah rangkaian tindakan sistematis, terencana, dan berkelanjutan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka dalam konteks hukum serta cara mendapatkan keadilan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sehingga mereka dapat lebih mandiri dan menangani masalah hukum dengan lebih baik. Penyelenggaraan penegakan hukum di institusi pendidikan merupakan langkah penting dalam membangun karakter bangsa dan menanamkan kesadaran hukum sejak dini.Â
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberi peserta pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan tanggung jawab mereka dalam hukum serta cara menyelesaikan masalah hukum dengan cara yang menyenangkan dan damai. Dalam konteks pendidikan, tujuan penyuluhan hukum adalah untuk meningkatkan kesadaran hukum siswa, membangun kepribadian yang taat hukum, dan mempersiapkan mereka untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam penegakan hukum secara aktif. Penyuluhan hukum juga bermanfaat karena meningkatkan kesadaran peserta didik tentang hak dan kewajiban mereka secara hukum dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hukum yang berlaku.Â
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat akan dilakukan di SMKN 3 Kota Tangerang Selatan dari tanggal 16 hingga 18 Mei 2024. Kegiatan ini dimulai sebagai upaya konkret untuk memberikan pemahaman hukum yang kuat kepada siswa, mengingat tanggung jawab mereka sebagai generasi penerus yang akan menentukan masa depan negara negara, seluruh sekolah, termasuk guru dan siswa, secara aktif mengambil bagian dalam berbagai kegiatan yang telah direncanakan secara khusus. Acara dimulai dengan seminar pembuka di mana para panitia pelaksana yang telah disiapkan sebelumnya berpartisipasi. Berbagai topik hukum, mulai dari hukum pendidikan hingga hukum siber, dibahas dalam kegiatan ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi siswa membawa kendaraan tanpa memiliki SIM
1.Kurangnya pengetahuan berlalu lintas: Siswa yang belum memiliki SIM tidak memahami aturan berlalu lintas yang aman dan efektif, sehingga mereka berisiko mengalami kecelakaan.
2.Kesalahan emosi: Siswa yang belum memiliki SIM dapat mengalami kesalahan emosi ketika mengemudikan kendaraan, seperti kesalahan pengendalian emosi yang dapat berakibat pada kecelakaan.
3.Pengaruh lingkungan: Lingkungan pergaulan remaja yang mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM dapat mempengaruhi siswa untuk mengikuti perilaku yang tidak sesuai dengan aturan berlalu lintas.
4.Tidak adanya aturan tegas: Tidak adanya aturan tegas dari pihak sekolah mengenai larangan membawa kendaraan kesekolah dapat mempengaruhi siswa untuk membawa kendaraan tanpa SIM.
5.Kesengsaraan sosial: Membawa kendaraan tanpa SIM dapat mempengaruhi situasi belajar dan menyebabkan siswa kurang berkonsentrasi di kelas.
6.Pengaruh orang tua: Jika orangtua tidak mendukung dan memfasilitasi, anak tidak akan membawa kendaraan dan kurangnya pengetahuan berlalu lintas.
7.Kepribadian yang kurang baik: Siswa yang memiliki kepribadian yang kurang baik karena mengendarai sepeda motor tanpa memiliki SIM.
Simpulan
Kegiatan PKMmenunjukkan peningkatan signifikan dalam pemahaman peserta, baik secara teoritis maupun praktis, yang menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan berhasil. PKM tidak hanya sebagai kegiatan formal tetapi juga penting untuk pengembangan keterampilan dan pengetahuan peserta, memberikan dampak positif dan kontribusi. Kesuksesan ini memberikan dasar yang kuat untuk pengembangan program serupa di masa depan, memperkuat peran institusi pendidikan sebagai katalisator positif dalam meningkatkanpemahamandan keterampilan siswa.
Siswa yang membawa kendaraan tanpa memiliki SIM merupakan pelanggaran serius terhadap Undang- Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 22 Tahun 2009 yang mengharuskan pengemudi berusia minimal 17 tahun untuk mendapatkan SIM. Meskipun aturan ini jelas, penerapannya di lapangan sering tidak maksimal, dengan banyaknya kasus anak-anak sekolah yang mengendarai sepeda motor tanpa SIM dibiarkan begitu saja oleh penegak hukum. Hal ini menciptakan budaya pembiaran di mana siswa dan orang tua merasa terbiasa dan tidak terhalang untuk melanggar aturan.
Beberapa orang tua tidak mengizinkan anak-anak mereka mengendarai motor ke sekolah karena kesadaran akan peraturan dan demi keselamatan anak mereka. Namun, sebagian besar orang tua justru membiarkan atau bahkan mendorong anak- anak mereka untuk mengendarai motor tanpa SIM, meskipun hal ini berisiko tinggi terhadap keselamatan mereka. Ketidakmampuan penegak hukum untuk secara konsisten menegakkan aturan juga berkontribusi terhadap berlanjutnya perilaku ini.Secara keseluruhan, fenomena siswa yang membawa kendaraan tanpa SIM mencerminkan masalah kepatuhan terhadap hukum dan keselamatan jalan yang perlu segera diatasi melalui penegakan hukum yang lebih ketat dan peningkatan kesadaran di kalangan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H