Tanah adat biasanya merupakan sumber daya alam yang dikelolah oleh masyarakat adat sering diatur oleh mekanisme adat yang melibatkan musyawarah dan pengawasan kolektif atau dapat disebut collective action. Ostrom, E. (1990), menyatakan pada teorinya bahwa pentingnya institusi lokal dalam mengelola sumber daya bersama (common-pool resources). Ia menunjukkan bahwa masyarakat lokal sering kali memiliki aturan adat yang efektif untuk menjaga keberlanjutan sumber daya mereka. Namun, intervensi pemerintah yang mengabaikan aturan adat ini melemahkan efektivitas dari collective action. Ketika institusi adat dilemahkan, kerusakan lingkungan dan ketegangan sosial menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan, sehingga eseimbangan ekologis yang dijaga melalui collective action masyarakat adat menjadi rusak, dan konflik antara tradisi lokal dan kepentingan pembangunan semakin tajam.
Ketidakjelasan Hak Memicu Biaya Sosial dan Ekonomi
Pada kasus Waduk Lambo ini, dapat dilihat bahwa desain kelembagaan yang lemah, ketidakjelasan hak properti, dan minimnya partisipasi masyarakat adat secara langsung meningkatkan biaya transaksi.Teori transaction cost dapat melihat bagaimana dampak biaya secara sosial dan ekonomi seperti yang dituliskan oleh Coase (1960) dan Williamson, Oliver E (1979). Biaya transaksi sendiri terdiri dari biaya negosiasi, pengawasan, dan penyelesaian konflik dalam interaksi ekonomi. Adapun dapat dilihat bagaimana dampak kasus tersebut dalam biaya sosial dan biaya ekonomi, seperti penejelasan berikut.
a. Biaya Sosial
Biaya ini mengacu pada dampak negatif yang dialami oleh masyarakat sebagai akibat dari pengelolaan sumber daya atau proyek pembangunan yang tidak memadai. Pada kasus ini terdapat biaya negosiasi dan konflik, yang diakibatkan dari ketidakjelasan hak properti meningkatkan resistensi dan memperbesar biaya penyelesaian sengketa. Hal ini termasuk dari biaya Masyarakat protes, aksi blockade, serta demonstasi yang dilakukan dengan pemerintah. Ada juga biaya partisipasi, dimana dalam sistem yang buruk, partisipasi minim meningkatkan risiko resistens. Dilihat dari sudah adanya perpecahan di pihak masyarakat adat, yang beberapa memilih untuk menerima keputusan pemerintah. Masyarakat adat akhirnya merasa teralienasi, memicu resistensi yang memakan waktu dan sumber daya lebih besar.
b. Biaya Ekonomi
Biaya ekonomi biasanya mengacu dampak finansial yang dialami oleh pemerintah, investor, dan masyarakat akibat konflik atau pengelolaan proyek yang buruk. Pada kasus Waduk Lambo ini, resistensi masyarakat adat dan gugatan hukum menyebabkan proyek tertunda, yang meningkatkan biaya operasional pemerintah dan investor. Hal ini sempat terjadi sebelum proyek dilaksanakan pada tahun 2001-2004, tetapi proyek Kembali disosialisasikan pada tahun 2015 dan dimulai di tahun 2021. Adanya biaya adaptasi dan eksekusi, karna penundaan mengakibatkan kerugian ekonomi karena manfaat proyek (irigasi, pengendalian banjir) tidak dapat segera dinikmati. Terdapat juga biaya kontrak yang berupa kompensasi bagi masyarakat terdampak, tetapi banyak yang merasa kompensasi tersebut tidak mencukupi atau belum dibayarkan. Jika konflik menjadi berkepanjangan dan penundaan proyek mengurangi kepercayaan investor terhadap keberhasilan proyek strategis. Hal ini disebut biaya ekspektasi, yang berdampak proyek berisiko kehilangan dukungan finansial atau pembengkakan anggaran untuk menyelesaikan masalah-masalah terkait.
Best Practice Kasus Internasional
Kasus Waduk Lambo ini sudah melibatkan kekerasan, pendekatan sederhana seperti negosiasi memang menjadi kurang efektif. Dalam situasi ini, penyelesaian memerlukan strategi yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Belajar dari kasus-kasus lain yang telah menghadapi situasi serupa, seperti kasus tanah adat Australia dengan Aboriginal Land Rights Acts. Pemerintah mengakui kesalahan historis yang dilakukan terhadap masyarakat adat, termasuk pengabaian hak dan kekerasan yang dialami (Central Land Council, 2019). Pemerintah juga membentuk komisi independen yang bertugas untuk meninjau ulang konflik, memberikan keadilan melalui restitusi tanah, dan memastikan hak adat diakui secara sah. Adanya mekanisme perdamaian berbasis budaya adat dengan melibatkan tokoh adat yang dihormati. Kasus Waduk Lambo dapat mengadopsi Pelajaran dengan mengedepankan simbolis dan konkret (pengakuan dan kompensasi) membangun kepercayaan yang rusak akibat kekerasan.
Terdapat juga kasus pada paper Dakota Access Pipeline (2017) di Amerika Serikat, di mana suku Sioux melawan proyek pipa minyak yang melintasi tanah leluhur mereka, menjadi contoh penting. Suku Sioux akhirnya membawa kasus mereka ke forum internasional, termasuk PBB, dengan dasar pelanggaran prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Advokasi secara global dilakukan untuk menekan pemerintah dan perusahaan yang terlibat, sehingga proyek dihentikan sementara untuk evaluasi ulang dampaknya terhadap masyarakat adat. Melibatkan pihak ketiga yang netral, seperti badan hukum internasional, dapat membantu mengurangi bias dan eskalasi konflik.
Pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan sebelumnya, dapat menjadi beberapa pelajaran untuk Indonesia dapt mengaplikasikannya dalam menyelesaikan konflik yang terjadi sekarang.