Berbicara tentang MK (Mahkamah Konstitusi), berbicara pula tentang konstitusi itu sendiri. Selama hampir 20 tahun, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tidak pernah terlepas dari pro dan kontra dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga tinggi negara yang menjaga tegaknya prinsip hukum dalam konstitusi negara. Diawali dengan kontradiksi asas hukum acara yang saling bertentangan, yaitu antara asas nemo judex idoneus in propia causa (tidak boleh ada hakim yang mengadili perkaranya sendiri) dengan asas ius curia novit (pengadilan mengetahui hukum).Â
Mari kita mengingat kembali beberapa catatan perjalanan MK beserta kontroversinya, serta harapan masyarakat untuk MK dapat merekonstruksi kembali integritasnya sebagai salah satu lembaga tertinggi negara yang melindungi hukum dan keberpihakan kepada rakyat sebagai penguasa tertinggi dalam pengambilan keputusan.
AMBIGUITAS PUTUSAN MK
Sebagai masyarakat awam yang tidak begitu mengerti dengan produk hukum namun tetap berusaha untuk memahaminya, beberapa catatan penting putusan MK dinilai masih ambigu seperti misal yang terjadi pada Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 tentang pro kontra pemberlakuan UU Cipta Kerja lalu. Dr, Zainal Arifin Mochtar dalam PPT Iwan Satriawan., Ph.D. menyebut, pemerintah dan DPR telah jelas melakukan pelanggaran pembentukan perundang-undangan karena tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan rumusan.Â
Begitu pula dengan ruang partisipasi publik yang seakan ditutup begitu saja dan tidak dapat diakses secara luas oleh kelompok-kelompok yang memang berkepentingan atas terciptanya UU tersebut, meski sebenarnya para hakim MK patut diapresiasi atas ‘tamparan konstitusionalnya’ kepada para pembuat UU, namun hakim MK dinilai masih membuat putusan inskonstitusional bersyarat yang kemudian menimbulkan kebingungan dalam penafsiran dan penerapannya. Ambiguitas nyata tersebut dapat ditemukan pada amar putusan Pokok Permohonan No.3, No.4, dan No. 7 Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020.
KONTRADIKSI ASAS YANG DIANUT DENGAN PUTUSAN YANG DITERAPKAN
Kembali tentang asas nemo judex idoneus in propia causa (tidak boleh ada hakim yang mengadili perkaranya sendiri). Nyatanya, pada putusan No. 005/PUU-IV/2006 perihal pengujian Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial memperlihatkan bahwa MK tanpa sadar telah berjalan keluar dari koridor prinsip imparsialitasnya dalam proses yudisial yang seharusnya tetap dipegang teguh sebagai lembaga yang menjaga penegakan prinsip hukum konstitusi itu sendiri.
Putusan yang membatalkan pasal-pasal yang berkaitan dengan pengawasan hakim MK telah membuat konstitusi negara ini semakin menjauhi gagasan pembaruan dalam upaya reformasi hukum alih-alih bertanggung jawab mengawal konstitusi.
KEMEROSOTAN INTEGRITAS DAN KEPERCAYAAN PUBLIKÂ
Ketika salah satu hakim MK terjaring dalam OTT yang dilakukan KPK atas kasus suap yang menjeratnya saat sedang mengadili suatu perkara, kredibilitas MK sebagai sebuah lembaga tertinggi pengadilan yang mengawal jalannya konstitusi jelas menjadi semakin turun drastis dan menambah deretan panjang daftar penyebab ketidakpercayaan publik terhadapnya. Penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangannya yang dibumbui dengan unsur politik, berujung pada kekecewaan mendalam yang dirasakan oleh rakyat setelah harapan terakhir mereka dalam mencari keadilan menjadi hancur begitu saja dirusak oleh sebuah penyimpangan integritas yang sudah dibangun sedemikian rupa.
HARAPAN PUBLIK, MENGINGAT KEMBALI SUMPAH DAN JANJI YANG TELAH DIUCAPKAN
Setelah beberapa catatan-catatan kronik kontroversial MK dalam mengemban tugasnya menyisakan luka yang begitu mendalam bagi masyarakat, setidaknya masih ada sepenggal harapan publik yang tersisa dalam upaya mencoba merekonstruksi kembali integritas dan nama baik yang telah dirusak, yaitu agar MK dapat kembali mengingat sumpah dan janji yang dulu pernah diucapkan, di mana mereka akan memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, serta memegang teguh konstitusi yang berlaku (UUD 1945) dan menjalankan peraturan perundang-undangan beserta prinsipnya dengan selurus-lurusnya.
Kewenangan MK dalam hal ini, harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan pertanggungjawaban, serta kemampuan merefleksikan tiap teks pasal yang terkait dengan fakta yang ditemukan di persidangan sesuai dengan landasan Pancasila dan UUD 1945, meski bukan terpaku pada metode penafsiran original intent, melainkan metode penafsiran yang dirasa benar berdasarkan konstitusi. Dan jika memang mau tidak mau harus bertentangan dengan asas saat menguji sebuah peraturan atau Undang-undang, maka seharusnya pula MK mempertimbangkan dengan saksama aspirasi masyarakat yang ada, memenuhi prinsip demokrasi yang bersifat substansif, dan bukan hanya bersifat formal saja.
KEMBALI PADA INTEGRITAS DAN PROFESIONALISME
Sesuai dengan prinsip yang memang seharusnya dipegang, MK diharapkan mampu untuk tetap berpegang teguh dan berpijak pada prinsip independensi dan imparsialitas. Artinya MK menjadi lembaga independen yang bersih dari ‘cawe-cawe’ dan non-timpang (tidak ada keberpihakan alias netral). Dengan adanya dua prinsip tadi, integritas MK sebagai lembaga tertinggi negara dapat terkonstruksi kembali bersamaan dengan profesionalismenya dalam menjalankan tugas yang telah diberikan.Â
Itulah sebabnya penting membangun budaya kerja peradilan yang bersifat modern dan terpercaya, yang berpegang teguh pada nilai integritas dan profesionalisme oleh para pemangkunya yang dalam hal ini adalah para pegawai dan hakim konstitusi.
Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa MK bukan hanya sekedar pengawal konstitusional, melainkan juga sebagai penentu arah kebijakan negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu dibuat.Â
Meski memiliki kekuasaan yang bisa dibilang luar biasa, namun integritas dan profesionalisme para hakim perlu dijaga dan tidak dipandang sebagai suatu hak yang prerogatif, mengingat itu malah akan mencederai rasa keadilan masyarakat dan menjadikannya sebagai alat penyalahgunaan kekuasaan dan kepentingan oleh pihak-pihak tertentu yang merasa diuntungkan, alih-alih menjaga independensi yang tengah diemban, ternyata malah mengabaikan kepentingan masyarakat luas sebagai pemegang tertinggi kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H