Semua orang punya cita-cita, suatu keinginan yang bahkan sangat sederhana. Tetapi, kenapa kadang hal-hal sederhana yang kita inginkan justru menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Namaku Fania, aku baru saja berusia tiga puluh lima tahun tepat ketika kembang api di seluruh dunia menyala menyambut tahun baru. Sudah lima belas tahun aku berada di negara ini, Hongkong. Negara yang menjadi tempat pelarian rasa takutku. Takut dari kecewa, takut dari amarah dan takut pada penyesalan. Lima belas tahun yang lalu, aku melakukan sebuah kesalahan besar. Mempercayai seseorang yang aku pikir tidak pernah meninggalkanku dengan alasan apapun. Ternyata aku salah, dalam sekejab saja dia membuangku layaknya sampah.
      "Rico kamu bercanda, kan?" tanyaku ketika Rico memutuskan untuk menikah dengan sepupuku sendiri.
      "Enggak, aku serius. Aku mencintai Novita."
      "Tapi, aku hamil Rico."
      "Yakin itu anak aku?" pertanyaan Rico dan ekspresi wajahnya sampai sekarang tidak pernah aku lupakan. Sejak itu tanpa mengucap sepatah kata pun aku pergi meninggalkan Rico. Aku menangis dalam keadaan hancur.
      "Ada apa Fan?" tanya ibuku. Aku merasa sangat bersalah, entah darimana aku mulai menceritakan kalau di dalam perutku sekarang ada benih dari laki-laki yang akan menikahi keponakan ibuku sendiri.
      "Nggak da apa-apa bu," jawabku pelan.
      "Nggak biasanya kamu seperti ini? coba cerita sama ibu, ada apa?" sekali lagi pertanyaan ibu membuatku hancur, aku tidak bisa menahannya lagi, aku memeluk ibu dan menumpahkan semua rasa tangisku di sana.
      "Bu, Fania melakukan kesalahan, Fania minta maaf Bu."
      "Kesalahan apa?"
      "Fania....Fania..."
      "Ada apa nak?"
      "Fania hamil, bu."
      "Apa, kamu bercanda?"
Aku menggeleng, aku melihat ekspresi kecewa wajah ibu. Untuk pertama kalinya aku melihat ibu meneteskan air mata. Ibuku yang kuat, ibuku yang tangguh aku patahkan hatinya seketika.
      "Bilang sama ibu, siapa?"
Aku menggeleng, karena aku yakin ketika aku mengatakan ini jauh lebih mematahkan hati ibu.
      "Apa maksud kamu ini Fan, kamu tidak tahu siapa ayah anakmu, ya Tuhan, apa salah ibu Fan, apa. Kenapa kamu melakukan hal yang mengecewakan ibu." Ibu menangis sembari memegang dadanya, bapakku yang telah tua renta datang dari sawah. Wajahnya yang lelah bertanya-tanya, ada apa dengan aku dan ibu.
      "Pak, kita telah salah mendidik anak kita Pak," kata ibuku sembari memeluk lengan bapak yang belang akibat sinar matahari di sawah.
      "Kenapa Bu, apa yang salah?"
      "Anak kita hamil Pak," jawab ibuku lagi, kali ini aku melihat wajah bapak. Sekali lagi aku mematahkan hati orang yang aku sayangi.
      "Benar itu nduk?" tanya bapak dengan suara perlahan, aku menganguk dan seketika aku melihat bapak jatuh terduduk. Tangannya yang kotor mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat. Bapak menangis, yah inilah saat duniaku hancur. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening, semua terdiam, isak tangis ibu perlahan menghilang.
      "Benar, kamu tidak tahu siapa ayah dari anak ini?" tanya bapak setelah semua tenang. Aku kembali menggeleng. Tidak ada pertanyaan lagi setelah itu, bapak justru memelukku dan mengusap rambutku. Setelah itu pergi membersihkan diri, ibu juga meninggalkanku. Malam itu, aku tidak tahu apa yang bapak dan ibu bicarakan, yang pasti besok pagi semuanya membaik. Bapak dan ibu mau menerima semua kesalahan yang aku perbuat.
      Sejak saat itu aku berhenti kuliah, aku hanya berdiam di dalam rumah saja. Sudah banyak tetangga yang tahu dengan kondisiku. Bapak dan ibu yang semula orang disegani kini juga tersisih, satu kesalahan yang aku lakukan ikut mengubur dalam-dalam semua kebaikan orang tuaku. Tiga bulan kemudian, sepupuku menikah dengan Rico kakak tingkatku di kampus yang merenggut semua kehidupanku.
      "Fan, bapak sama ibu ke nikahan Novita dulu ya."
Aku mengangguk, aku lihat wajah ibu dan bapak datar tanpa senyuman, sudah pasti di sana nanti mereka akan diperbincangkan banyak orang. Sejak saat itu aku mulai ada semangat baru, aku bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah orang tuaku berikan. Aku membuat suatu cita-cita besar dan mimpi yang harus aku wujudkan sembari menunggu kehadiran buah hatiku. Aku perlahan keluar rumah, mulai kuat dengan tatapan-tatapan sinis dan lainya. Bahkan saat aku akan berangkat melahirkan, aku melihat Rico dan Novita bergandengan mesra di hadapanku.
      Aku lega ketika kehidupan yang ada di dalam tubuhku ini telah hadir ke dunia, bayi perempuan yang lucu dan cantik. Ibu dan bapak mulai ada senyuman, mereka memberikan nama Anugrah Putri Rizkiana yang artinya perempuan pembawa kebahagiaan. Aku sedikit lega karena kehadiran Nugrah membawa harapan baru untuk orang tuaku, setidaknya bagian sedikit luka yang tergores dulu sudah mulai sembuh. Bapak mengatakan, selalu ada kesempatan kedua bagi siapa yang benar-benar mau memperbaiki diri.
Dengan berat hati aku memutuskan untuk meninggalkan bapak, ibu dan Anugrah kecilku. Aku memutuskan untuk merantau, aku pergi ke hongkong menjadi TKW. Tahun pertama rasanya sangat berat, aku tidak bisa mengatakan bagaimana aku akhirnya aku kembali kuat dan terus kuat hingga akhirnya Anugrah tumbuh menjadi anak yang cantic dan lucu. Setiap tahun aku membuat sebuah resolusi agar kehidupanku jauh lebih baik dan baik, hari-hari terberatku mulai lunas sedikit demi sedikit ketika aku bisa membangun rumah yang bagus untuk ayah dan ibu, menyekolahkan Anugrah dan tentu saja membelikan sawah bapak.
      "Nduk, bapakmu sudah sakit-sakitan kapan kamu pulang?" tanya ibuku, dan aku mulai gelap mata. Mulai banyak keinginan yang harus aku penuhi hanya untuk membalas semua rasa sakit yang telah digoreskan Rico.
      Awal tahun baru ini, sekali lagi aku menuliskan bahwa aku ingin pulang. Benar-benar ingin pulang. Aku harap tidak ada hal lain yang mengesampingkan resolusi sederhanaku ini. Aku hanya perlu siap dengan semua keadaan, berdamai dengan diri sendiri dan mulai ikhlas dengan masa lalu, karena sekarang aku bukanlah Fania yang dulu. Aku membuka lembar demi lembar buku harianku, yang selalu tercatat semua resolusiku dari tahun ke tahun, dan di tahun ini aku tidak menuliskan apapun kecuali kata Pulang, ya aku ingin pulang.
      Kringgg
      Ponselku bordering, telepon dari ibu. Aku tahu semua resolusiku terkabulkan oleh Tuhan, tapi untuk yang ini terlalu cepat bagiku.
      "Kamu harus pulang sekarang, Fan. Bapak meninggal. Kamu mau menunggu sampai ibu meninggal juga baru kamu mau pulang."
       Ini bukanlah resolusi yang ku mau Tuhan, aku pulang, tapi aku kehilangan.
***Â
Dewie Sudarsh, konten kreator, Podcaster dan Penulis. Tinggal di Surabaya yang sedan belajar untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Sosial media @dewiesudarsh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H