"Benar, kamu tidak tahu siapa ayah dari anak ini?" tanya bapak setelah semua tenang. Aku kembali menggeleng. Tidak ada pertanyaan lagi setelah itu, bapak justru memelukku dan mengusap rambutku. Setelah itu pergi membersihkan diri, ibu juga meninggalkanku. Malam itu, aku tidak tahu apa yang bapak dan ibu bicarakan, yang pasti besok pagi semuanya membaik. Bapak dan ibu mau menerima semua kesalahan yang aku perbuat.
      Sejak saat itu aku berhenti kuliah, aku hanya berdiam di dalam rumah saja. Sudah banyak tetangga yang tahu dengan kondisiku. Bapak dan ibu yang semula orang disegani kini juga tersisih, satu kesalahan yang aku lakukan ikut mengubur dalam-dalam semua kebaikan orang tuaku. Tiga bulan kemudian, sepupuku menikah dengan Rico kakak tingkatku di kampus yang merenggut semua kehidupanku.
      "Fan, bapak sama ibu ke nikahan Novita dulu ya."
Aku mengangguk, aku lihat wajah ibu dan bapak datar tanpa senyuman, sudah pasti di sana nanti mereka akan diperbincangkan banyak orang. Sejak saat itu aku mulai ada semangat baru, aku bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah orang tuaku berikan. Aku membuat suatu cita-cita besar dan mimpi yang harus aku wujudkan sembari menunggu kehadiran buah hatiku. Aku perlahan keluar rumah, mulai kuat dengan tatapan-tatapan sinis dan lainya. Bahkan saat aku akan berangkat melahirkan, aku melihat Rico dan Novita bergandengan mesra di hadapanku.
      Aku lega ketika kehidupan yang ada di dalam tubuhku ini telah hadir ke dunia, bayi perempuan yang lucu dan cantik. Ibu dan bapak mulai ada senyuman, mereka memberikan nama Anugrah Putri Rizkiana yang artinya perempuan pembawa kebahagiaan. Aku sedikit lega karena kehadiran Nugrah membawa harapan baru untuk orang tuaku, setidaknya bagian sedikit luka yang tergores dulu sudah mulai sembuh. Bapak mengatakan, selalu ada kesempatan kedua bagi siapa yang benar-benar mau memperbaiki diri.
Dengan berat hati aku memutuskan untuk meninggalkan bapak, ibu dan Anugrah kecilku. Aku memutuskan untuk merantau, aku pergi ke hongkong menjadi TKW. Tahun pertama rasanya sangat berat, aku tidak bisa mengatakan bagaimana aku akhirnya aku kembali kuat dan terus kuat hingga akhirnya Anugrah tumbuh menjadi anak yang cantic dan lucu. Setiap tahun aku membuat sebuah resolusi agar kehidupanku jauh lebih baik dan baik, hari-hari terberatku mulai lunas sedikit demi sedikit ketika aku bisa membangun rumah yang bagus untuk ayah dan ibu, menyekolahkan Anugrah dan tentu saja membelikan sawah bapak.
      "Nduk, bapakmu sudah sakit-sakitan kapan kamu pulang?" tanya ibuku, dan aku mulai gelap mata. Mulai banyak keinginan yang harus aku penuhi hanya untuk membalas semua rasa sakit yang telah digoreskan Rico.
      Awal tahun baru ini, sekali lagi aku menuliskan bahwa aku ingin pulang. Benar-benar ingin pulang. Aku harap tidak ada hal lain yang mengesampingkan resolusi sederhanaku ini. Aku hanya perlu siap dengan semua keadaan, berdamai dengan diri sendiri dan mulai ikhlas dengan masa lalu, karena sekarang aku bukanlah Fania yang dulu. Aku membuka lembar demi lembar buku harianku, yang selalu tercatat semua resolusiku dari tahun ke tahun, dan di tahun ini aku tidak menuliskan apapun kecuali kata Pulang, ya aku ingin pulang.
      Kringgg
      Ponselku bordering, telepon dari ibu. Aku tahu semua resolusiku terkabulkan oleh Tuhan, tapi untuk yang ini terlalu cepat bagiku.
      "Kamu harus pulang sekarang, Fan. Bapak meninggal. Kamu mau menunggu sampai ibu meninggal juga baru kamu mau pulang."