Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Temi Utami: Alam akan Merespons Kita

19 Februari 2018   17:08 Diperbarui: 6 Maret 2018   07:53 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contoh sederhananya saat baru menjabat sebagai Kepala Kantor di KPP Pratama Jakarta Kebon Jeruk Dua dia merasa awam masalah pemeriksaan pajak. Maka tanpa sungkan dia memanggil para Fungsional Pemeriksa untuk menerangkan prosedur-prosedur pemeriksaan padanya, bahkan masalah teknis aplikasi pun ditanyakannya.

Di lain waktu terkait masalah penerimaan, dia akan memanggil Account Representativeuntuk diajak berdiskusi. Dia tak merasa bahwa atasan itu selalu harus lebih tahu. Itu sebuah teori kuno yang harus ditinggalkan, jika tak ingin jadi sosok dinosaurus yang akan dijauhi bawahan.

"Saya berusaha menempatkan diri saya pada posisi orang lain, supaya saya tidak gampang menghakimi," ujarnya.

Itulah kenapa Temi kadang tak segan turun langsung menangani pekerjaan yang seharusnya bukan tugasnya. Saat Amnesti Pajak sedang gencar-gencarnya diadakan, dan animo masyarakat begitu besar dia ikut duduk memberikan penjelasan pada Wajib Pajak yang datang. Salah satu Wajib Pajak yang selesai dilayani terdengar berseloroh pada temannya,

"Aku tadi dilayani Kepala Kantor lho."

Belajar dari Anak 

Saat ditanyakan pengalaman hidup yang membawa dia pada sosok demokratis seperti sekarang ini, tanpa ragu Temi menyatakan bahwa dia belajar dari anak. Itu sebuah perjalanan yang panjang, ceritanya. Matanya menerawang, seolah ingin kembali ke dimensi waktu ketika kisah itu mulai terajut puluhan tahun lalu.

Sosok ibu dengan tiga orang putera/i yang di masa kecil hingga remaja dididik seorang ayah berlatar belakang militer, tak lantas menjadikan Temi seorang ibu yang  otoriter.  Temi telah mematahkan paradigma itu. Cerita ini langsung mengingatkan kita akan jawaban seorang penyair keturunan Lebanon Kahlil Gibran ketika ditanyakan pendapatnya masalah anak.

Dalam puisinya On Children,Kahlil Gibran intinya menyatakan anak tak seharusnya disetir sesuai kemauan orang tua, apalagi dididik dengan tangan besi. Paling tidak, harus ada ruang kebebasan bagi anak untuk menentukan nasibnya sendiri. Orang tua hanyalah sebagai fasilitator.

Cocok. Begitulah kini Temi memperlakukan anak-anaknya. Ketika Temi mulai berbenturan pandangan dengan putera keduanya terkait apa yang menurut dia baik, apakah itu masalah pendidikan, minat, maupun pergaulan itu telah membawa dia pada sebuah renungan yang panjang sampai akhirnya dia tiba pada kesimpulan bahwa: anak itu punya kehidupan sendiri.

"Belum tentu itu apa yang saya pikir baik buat anak, itu lebih baik bagi mereka," simpulnya bijak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun