Mohon tunggu...
Dewi Anggraeni Kusumoningrum
Dewi Anggraeni Kusumoningrum Mohon Tunggu... Dokter - Dokter internship

Dokter yang gemar menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Vaksin Palsu, Momentum Perbaikan Kesehatan Indonesia

1 September 2017   15:41 Diperbarui: 6 September 2017   16:52 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Juni 2016 lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan beredarnya vaksin palsu di 37 fasilitas kesehatan yang tersebar di Jabodetabek.[1] Sejumlah oknum memproduksi vaksin palsu selama bertahun-tahun dengan dalih bisnis tersebut mampu meraup untung besar. Meskipun barang ilegal tersebut hanya mengandung cairan infus dan antibiotik yang notabene tidak berbahaya terhadap anak, masyarakat tetap dirugikan bila dilihat dari berbagai aspek, seperti biaya dan waktu yang terbuang untuk mendapat vaksin.[1] 

Masyarakat awam pun tidak sepenuhnya menerima bahwa vaksin palsu tersebut aman sehingga sebagian besar menolak untuk mendaftarkan anaknya mendapat vaksin setelah kejadian tersebut meskipun vaksin yang akan diperoleh tidak palsu dan sudah lulus sensor BPOM. Akibatnya, negara pun terkena imbasnya karena biaya kesehatan untuk menangani penyakit yang meningkat padahal sebenarnya dapat dicegah oleh vaksin tersebut.[1] 

Melihat efek domino yang ditimbulkan sangat besar, ada baiknya negara dan masyarakat segera melakukan tindakan preventif agar dikemudian hari tidak terdapat kasus serupa.

DI MANA BPOM?

Semenjak meluasnya berita vaksin palsu, masyarakat mempertanyakan kinerja BPOM selaku badan yang mengawasi peredaran obat dan makanan di Indonesia. Saat diwawancarai wartawan BBC, BPOM mengaku bahwa beredarnya vaksin palsu di masyarakat sudah tercium keberadaannya sejak tahun 2008. 

Hanya saja lokasi ditemukannya vaksin palsu menyebar, tidak terkonsentrasi di satu daerah sehingga cukup sulit untuk menekan peredarannya. Di tahun 2008, 2013, 2014, dan 2015, BPOM mengaku segera menindaklanjuti kasus tersebut, namun sayangnya tetap ada yang lolos, bahkan masuk ke Puskesmas pemerintah dengan kotak kemasan bertuliskan "Kementerian Kesehatan RI".[2]

Pengawasan pemerintah yang lemah terhadap standar kefarmasian di apotek menjadi salah satu penyebab maraknya vaksin palsu[3], padahal peraturan mengenai pengawasan vaksin telah tertera pada Peraturan Menteri Kesehatan pasal 9 ayat 1 nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Berdasarkan peraturan tersebut, tanggung jawab melakukan pembinaan dan pengawasan terdapat pada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala BPOM, dan Menteri. 

Pada pasal 9A ayat 2, wewenang Kepala BPOM adalah melakukan pemantauan dan pembinaan kegiatan di lingkup pemerintah dan masyarakat dalam bidang pengawasaan sediaan farmasi. Selanjutnya, laporan pengawasan diberikan kepada Menteri secara berkala minimal satu kali setahun.[4]

Mengingat vaksin tidak dapat didistribusikan secara bebas dan harus melalui dinas-dinas kesehatan daerah di mana pemerintah bertanggung jawab atas pengadaan vaksin dengan membeli dari perusahaan farmasi, polisi menduga bahwa kasus vaksin palsu menyangkut aparat negara sehingga BPOM dan Kementerian Kesehatan beserta perangkatnya sulit untuk mengontrol dan melacak peredaran vaksin palsu ini.[1]

PENGAWASAN VAKSIN SEKARANG DAN KELAK

Saat ini, pengawasan produksi dan peredaran vaksin masih merupakan wewenang BPOM, khususnya Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan NAPZA. Selama ini, setelah BPOM mengetahui adanya pelanggaran produksi dan distribusi obat, BPOM tidak dapat melakukan penyelidikan lebih lanjut karena wewenang penyelidikan berada di pihak kepolisian.[1,5]

Berkaca pada kasus ini, rumah sakit dan BPOM sebaiknya tidak melakukan pemeriksaan vaksin hanya untuk sekadar pemeriksaan rutin yang sifatnya administratif, tetapi juga melakukan pemeriksaan pemeriksaan acak dan mendadak.[6]

Banyak kalangan, termasuk DPR, mendesak pemerintah untuk restrukturisasi BPOM, membenahi distribusi vaksin serta obat di Indonesia, dan menambah wewenang BPOM. Wewenang tersebut adalah wewenang untuk melakukan penyelidikan sehingga masalah-masalah yang ditemukan dapat ditata laksana dengan cepat.[3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun