Pada tahun 2020 tahun pertama pandemi Covid-19 kunjungan wisatawan mencapai 20.319 wisatawan lokal dan 8 wisatawan mancanegara, hingga pada tahun 2021 masa pandemi kunjungan hanya mencapai 6.274 wisatawan.Â
Pada tahun 2022 dengan penurunan kasus Covid-19 dan kemunculan tren berwisata pada destinasi alam tentu kunjungan pada Suku Baduy mengalami peningkatan. Terhitung dari April-Mei 2022 terdapat 7000 kunjungan dari wisatawan.Â
Melihat dari tingginya jumlah kunjungan dari wisatawan tersebut mengakibatkan semakin tingginya potensi gesekan kebudayaan asal yang dibawa oleh wisatawan terhadap sosial budaya Suku Baduy. Wisatawan dengan budaya yang mereka bawa dan latar belakang yang berbeda dikhawatirkan tidak semuanya mampu untuk menghormati peraturan dan kebudayaan setempat.
Dengan kunjungan wisatawan secara terus menerus dengan jumlah yang banyak akan memberikan dampak bagi psikologi masyarakat yang harus menerima kedatangan orang asing dengan kebudayaan yang jelas berbeda-beda.Â
Selain mengancam terjadinya perubahan sosial budaya, dilihat dari sisi lingkungan dengan fenomena overtourism dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, mengancam keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan alami hutan, flora dan fauna.Â
Mengingat Suku Baduy sebagai masyarakat adat, tentu mereka sangat menjunjung keseimbangan antara budaya dan alam di mana ketika keseimbangan ini mengalami pergesean maka berpotensi terjadi perubahan tatanan kehidupan mereka.Â
Tingginya kunjungan tersebut tidak sepenuhnya memberikan dampak negatif, hal tersebut tentu memberikan dampak ekonomi dengan jumlah yang tidak sedikit meskipun tidak sebanding dengan potensi kerusakan yang ada.
Beberapa kekhawatiran tersebut sempat terjadi pada tahun 2020. Beberapa tahun ekowisata yang telah berjalan di Suku Baduy telah memberikan dampak yang tidak cukup baik dari segi kesejahteraan masyarakat, sumber daya alam hingga sosial budaya.
Dilansir dari Eticon.co.id tepat pada 6 Juli 2020, masyarakat adat Suku Baduy mengajukan surat terbuka kepada Presiden RI tentang keinginan mereka agar menghapus Kanekes dari daftar destinasi wisata sebagai respon dari kerusakan alam dan tatanan budaya masyarakat adat Suku Baduy akibat pariwisata.Â
Hal ini juga menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara pengertian ekowisata sendiri dan tujuan ekowisata pada penerapannya di masyarakat adat Suku Baduy untuk menjadi wisata yang bertanggung jawab dan menjadi salah satu cara untuk mengupayakan keberlanjutan meskipun hadir pariwisata.Â
Pengajuan surat tersebut tidak hanya berangkat dari kerusakan alam dan budayanya namun dengan label "wisata" mereka merasa menjadi bahan tontonan atau suatu masyarakat yang dikomersialkan.Â