Ketika masih remaja, saya menggemari buku serial Little House on the Prairie. Keluarga mereka adalah tergolong kaum pionir, ayah mereka petani dan pemburu hewan, namun juga bersedia bekerja apa saja demi mencukupi kebutuhan. Mereka hidup berpindah-pindah demi mendapatkan tanah impian. Hingga suatu ketika mereka mendaftar sebagai calon pemilik sebidang tanah negara dan bisa membuktikan mereka berhak mendapatkannya dengan mendiami dan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian.
Bagian cerita tersebut terasa mengharukan. Mereka telah beberapa kali berpindah tempat tinggal dengan melakukan perjalanan berhari-hari, dengan gerobak dan tidur di tempat terbuka. Gagal panen dan lainnya telah mereka alami, hingga mereka terpaksa menyantap burung-burung yang menyerang tanaman mereka. Ketika kemudian si ayah dinyatakan pemilik tanah yang dibagikan oleh negara, saya sebagai salah satu pembaca ikut merasa gembira.
Tanah merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia. Dengan memiliki tanah, manusia dapat membangun rumah impian, mengolahnya sebagai lahan pertanian atau tambak, ataupun juga sebagai tempat berusaha. Tanah juga bukan hanya penting bagi manusia, melainkan juga makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan.
Luas daratan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik mencapai 1,9 juta kilometer persegi. Â Saya berandai-andai apabila luas daratan dikurangi hutan dan kawasan komersial maka masih cukup luas yakni saya asumsikan berkisar 645 ribu kilometer persegi. Jumlah ini saya bagi dengan 277 juta penduduk Indonesia, maka besarannya sekitar 2.300 meter persegi. Angka ini memang masih kasar dan pastinya banyak parameter lainnya yang belum saya masukkan. Namun dari sini saya berandai-andai setiap individu bisa mendapatkan tanah di negeri ini, asal bersedia tinggal di luar pulau Jawa.
Paragraf di atas hanyalah pengandaian karena banyak dari kita yang kesulitan mengakses tanah. Memang tanah adalah kebutuhan penting bagi setiap individu dan pelaku usaha. Namun masih banyak masalah terkait dengan tanah seperti mafia tanah, harga tanah yang melambung tinggi, keterbatasan tanah, sengketa tanah adat, petani yang tidak memiliki lahan untuk dikelolanya, dan lainnya.
Ketika mendengar tentang Badan Bank Tanah yang ditugaskan mengelola tanah, saya terus terang baru mendengarnya belakangan ini. Awalnya saya kesulitan membedakan tugasnya dengan Badan Agraria. Rupanya kedua badan ini memiliki perbedaan signifikan. Badan Agraria berfokus pada pendaftaran tanah, penerbitan sertifikat, dan penyelesaian sengketa terkait dengan agraria. Sedangkan Badan Bank Tanah berfokus pada pengelolaan tanah negara.
Badan Bank Tanah didirikan 31 Desember 2021 dengan berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021. Latar belakang pendirian badan khusus ini yakni menjaga ketersediaan tanah agar terwujud ekonomi berkeadilan. Â Adapun lima tujuan strategis Badan Bank Tanah adalah untuk kepentingan umum dan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.
Adanya Badan Bank Tanah diharapkan membantu masyarakat yang tergolong miskin untuk bisa mendapatkan rumah tinggal yang layak. Saat ini masih banyak keluarga yang tidak memiliki rumah sendiri karena harga properti yang terus merangkak naik secara signifikan. Selain masyarakat yang memiliki penghasilan minim, masalah kepemilikan tanah juga dirasakan oleh para petani penggarap dan nelayan miskin.
Tak sedikit petani di negeri ini yang tak memiliki lahan bertanam. Mereka mendapatkan penghasilan yang minim sebagai petani penggarap. Demikian juga dengan nasib nelayan miskin, tak sedikit yang tidak memiliki tempat tinggal yang nyaman ataupun lahan untuk berbudidaya seperti lahan untuk budidaya tambak bandeng dan budidaya rumput laut. Padahal potensi pertanian dan perikanan di Indonesia sangatlah besar dengan tanah yang subur dan kekayaan sumber daya bahari.
Ketika melihat keberhasilan Badan Bank Tanah dalam mengelola dan memanfaatkan hak pengelolaan lahan di Desa Tengkurak Kabupaten Serang, Â saya merasa ikut bergembira. Di desa nelayan tersebut seluas 7,5 hektar tanah negara dimanfaatkan oleh warga desa untuk melakukan budidaya bandeng dan rumput laut. Dengan demikian masyarakat desa tersebut mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan ekonominya meningkat.
Semoga dengan kehadiran Badan Bank Tanah, makin banyak masyarakat yang sejahtera. Petani penggarap siapa tahu dalam beberapa waktu ke depan dapat memiliki tanah sendiri untuk dikelolanya. Demikian juga dengan para nelayan dapat memiliki lahan untuk berbudidaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H