Semalam aku membaca buku tentang Raden Ajeng Kartini berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini ditulis oleh Armijn Pane dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938. Buku ini merupakan terjemahan dari versi Belanda yang disusun oleh J.H. Abendanon, yang berjudul Door Duisternis Tot Licht.Â
Sepanjang malam aku menuntaskan buku setebal 250-an halaman ini. Aku membacanya di aplikasi iPusnas. Buku ini ibarat melengkapi cerita tentang Kartini yang kudapatkan dari tiga film sebelumnya. Buku ini sendiri merupakan versi lebih anyar dari versi terjemahan dari empat saudara, Â Zainudin Rasa, Djamaloedin Rasa, Bagindo Dahlan Abdullah, dan Sutan Muhammad Zain yang diterbitkan tahun 1922 oleh penerbit yang sama.Â
Di awal ada penjelasan dari Armijn Pane tentang alasan untuk mencintai dan menghargai Kartini secara tidak berlebihan. Ada sejumlah alasan mengapa tanggal lahir Kartini diperingati dan beliau ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Penghargaan buat Kartini bukan berarti mengesampingkan peran dan kontribusi pahlawan pendidik perempuan lainnya seperti Dewi Sartika dan Siti Walidah.Â
Ada lima bab pembahasan dalam buku ini. Di awal dikisahkan Kartini dipingit sejak usia 12 tahun. Kemudian pada usia 16 tahun ia mulai agak bebas, meski masih banyak batasan. Ia banyak membaca buku dan kemudian karya tulisnya juga dimuat.Â
Buku ini memuat surat-surat Kartini pada periode waktu tahun 1899-1904. Ia banyak mengirim surat kepada E. H. Zeehandelaar yang ia sapa dengan Stella, kemudian nyonya M. C. E. Ovink-Sur, dan nyonya R. M. Abendanon-Mandri. Ada juga surat-surat ke pihak lainnya. Total surat dalam buku ini 87 buah. Tak semua surat dalam buku rujukan dituangkan di sini dengan alasan ada kemiripan isi di dalamnya.Â
Membaca surat Kartini, aku merasa kagum dengan cara ia bertutur berikut juga pengetahuannya. Ia memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang peduli dengan ilmu pengetahuan. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV Â adalah Bupati Demak yang dikenal sangat peduli dengan pendidikan.
Ayahnya sendiri, Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat yang seorang Bupati Jepara juga sebenarnya begitu sayang dan ingin Kartini menggapai cita-citanya. Hanya ada sejumlah batasan untuk perempuan pada masa itu, sehingga ia juga berhati-hati dalam mendukung putrinya.Â
Kartini menurutku sama seperti gadis remaja pada umumnya. Ia juga mengeluh akan kondisinya yang serba dibatasi. Ia ingin sekali bisa belajar di Belanda dan ia juga iri dengan gadis-gadis Belanda yang tak harus dipingit dan lainnya.Â
Selain masalah tradisi, ia mengeluhkan praktik poligami sehingga ia takut terikat dengan ikatan pernikahan. Bahkan ia sempat tak ingin menikah.Â
Lambat laun sikap Kartini yang keras dengan idealisme kemudian mulai melunak. Ia mempertimbangkan banyak hal, termasuk citra dan nama baik ayahnya.Â
Akhirnya ia menuruti nasihat sahabat penanya untuk tak melanjutkan niatnya mengambil studi di  Belanda. Melainkan, melanjutkan studi di Betawi, bersama adiknya, Rukmini. Kartini yang di awal ingin mengambil kedokteran kemudian ingin fokus mengambil studi tentang guru.Â
Namun, akhirnya ia harus merelakan segala cita-citanya. Ia memilih untuk menikah meski pengajuannya bersekolah di Betawi diterima. Kartini dari idealis berubah menjadi lebih realistis.Â
Ada banyak hal menarik yang bisa dibaca dari buku ini tentang kehidupan Kartini, juga bagaimana penghormatan dan kasih sayangnya kepada ayah. Ia juga begitu sayang pada Rukmini, adiknya.Â
Buku ini juga dihiasi ilustrasi lukisan dan foto bagian rumah Kartini. Membaca isi kumpulan surat ini seperti membaca sebuah roman tentang perempuan yang percaya bahwa perubahan untuk kaumnya akan segera tiba.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H