Bagian-bagian ketika Ze melakukan ritual sebelum dan saat bantuannya diperlukan semestinya diperbanyak. Oleh karena bagian inilah yang ikonik di film ini.Â
Visual film ini memang memanjakan mata. Penonton diajak ke kota pinggiran di dataran tinggi. Ada salju dan warna-warni di luar ruangan yang dominan putih. Tiupan angin seperti terasa.Â
Kultur Mongolia juga disisipkan di berbagai bagian. Ze dan kakaknya suka memainkan alat musik tradisional tiup yang sederhana pada saat malam. Lagu-lagu yang menggunakan teknik tenggorokan Mongolia juga seperti hembusan angin.Â
City of Wind meraup sejumlah penghargaan di berbagai festival mancanegara. Film ini meraih penghargaan aktor terbaik dan nominasi film terbaik di Venice Film Festival 2023. City of Wind juga mendapat penghargaan film terbaik di ajang Osaka Asian Film Festival 2024.
Nah omong-omong tentang City of Wind, rupanya tak sedikit film produksi Mongolia yang juga masuk ke festival film mancanegara bergengsi. If Only I Could Hibernate, misalnya, yang juga tayang di Festival Film Cannes 2023.
Industri film Mongolia belakangan ini tumbuh pesat baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Industri film nasional Mongolia tumbuh sejak tahun 1936, sebelumnya mereka banyak terpengaruh oleh Industri film Rusia. Industri film Mongolia kemudian mencapai puncaknya pada tahun 1980, namun pada dekade berikutnya mulai runtuh oleh berbagai faktor.
Seperti di Indonesia, mulai tahun 2000-an industri film nasional Mongolia kembali bangkit. Ini ditandai dengan mulai mengirimkan wakil ke Oscar sejak tahun 2003, lewat film The Story of the Weeping Camel. Mereka mulai rutin mengirimkan wakil ke Oscar sejak tahun 2019.
Kini Mongolia telah memiliki dewan nasional film Mongolia. Mereka juga memiliki 80 studio film dan 15 bioskop, dengan sekitar 17-40 film yang diproduksi tiap tahun. Mereka optimis film-film Mongolia akan semakin dikenal luas.