Hari ini filmku diputar. Kukenakan gaunku yang cantik, yang hanya kupakai di acara istimewa. Aku ingin sekali hari ini juga menjadi momen yang spesial.
Studio tempat filmku diputar rame sesak. Sebagian adalah kawan-kawan dan orang yang kukenal. Lainnya pengunjung umum penggemar film dan para pecinta kucing.
Ya, film yang diputar adalah film berjudul Berlari Bersama Kucing. Film ini bercerita tentang petualangan ke negeri fantasi seorang manusia bersama kucing kesayangannya. Film ini terinspirasi dari kucingku yang telah melalang ke surga, Nero, namanya.
Film pun siap diputar. Aku merasa gugup. Aku takut dengan reaksi penonton. Jangan-jangan mereka tak suka dengan filmku dan keluar sebelum film selesai.
Reaksi penonton ternyata melebihi perkiraanku. Mereka nampak senang. Namun yang membuatku heran ada suara meongan dan lolongan kucing. Aku yakin suara itu bukan dari layar, melainkan dari arah penonton. Meongan itu rasanya tak asing. Ah, tapi mungkin itu hanya perasaanku.
Penonton memberikan tepuk tangan meriah ketika film berakhir. Aku merasa lega dan senang. Kemudian waktunya aku memberikan sedikit sambutan dan sesi tanya jawab. Aku pun melangkah ke panggung.
Di sana kulihat ada seekor kucing oren duduk di antara para penonton. Kucing itu mirip dengan Nero, kucingku. Tapi karena posisiku jauh, aku tak bisa memastikannya.
Setelah acara berakhir dan para penonton mulai keluar, aku merasa penasaran dengan penonton kucing tersebut. Kuhampiri bangku yang ada kucingnya tersebut, tapi ia sudah tak nampak.Â
Kutanya penonton yang duduk di bangku teratas, mereka bingung ketika aku menyebut penonton kucing. Namun, dua remaja tertawa-tawa dan berkata memang ada seekor kucing yang duduk di antara mereka. Ia lucu dan menggemaskan.
Jadi itu bukan mimpi, ujarku. Aku ingin sekali berjumpa dengan kucing itu. Aku ingin berterima kasih ia telah mewakili kaumnya menonton film ini.
Aku pun duduk di bangku yang pernah ditempati si kucing. Sementara studio sudah sepi.
Ketika aku asyik melamun, kucing itu tiba-tiba naik ke atas bangku. Ia menatapku dengan mata besarnya. Ia mirip sekali dengan Nero, dari suara dan kerlingan matanya. Tapi aromanya berbeda.
Tentu saja ia bukan Nero. Kucingku itu telah di surga. Tapi aku langsung menyukainya. Sepertinya ia juga memilihku.Â
"Kamu ingin pulang ke rumahku, Pus?" Kucing itu mengeong, sepertinya setuju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H