Tapi untunglah cerita langsung berlanjut ke adegan yang epik di mana Eyang Semar dan Kresna hadir memberikan wejangan ke Pandawa tentang pemilihan panglima perang untuk menghadapi Sengkuni.Â
Sengkuni meskipun kesaktiannya di bawah Pandawa, namun memiliki ilmu kebal karena pernah membalurkan minyak tala, warisan Pandu, ke seluruh tubuhnya.
Menurutku bagian ini salah satu yang epik dan haru. Demikian juga adegan ketika Werkudoro alias Bima dengan berani beradu kesaktian dengan Sengkuni.
Pemeran Sengkuni salah satu yang kuberikan aplaus meriah. Ada dua pemeran Sengkuni, Sengkuni muda dan Sengkuni tua. Bagian transformasi Haryo Suman yang tampan beralih ke Sengkuni yang buruk rupa nampak meyakinkan. Pemeran Sengkuni tua juga memberikan performa yang apik. Ia lincah dan tangkas bertarung dengan Bima, dengan koreografi yang apik.
Setiap penampil di sini berakting dan menari dengan luwes. Make up dan kostumnya pas, sehingga ketika melihat desain kostum dan aksesorinya penonton langsung tahu tokoh yang diperankan.
Tata panggung dan tata pencahayaan juga pas. Transisi ketika berganti latar tempat dan waktu juga halus. Aku paling suka ketika pemeran Sengkuni muda dan tua berdiri dengan posisi bertolak belakang dan kemudian berjalan memutar dengan posisi Sengkuni tua kini menghadap ke depan penonton. Sehingga penonton paham bahwa cerita berjalan sekian tahun kemudian.
Musiknya full gamelan dan karawitan. Musik juga disumbang oleh beberapa tokoh yang juga pandai bernyanyi.
Wah aku jadi ingin suatu saat nonton lagi pertunjukan wayang orang. Salam budaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H