Di atas sebuah meja terdapat satu set diorama yang terdiri dari 23 figur. Diorama ini nampak familiar. Diorama ini adalah satu dari sekian banyak koleksi karya seni dan instalasi yang dipamerkan di Museum Macan hingga 14 April dengan tema Voice Against Reason.
Karya seni tersebut berjudul When the Flood is Over. Karya tersebut mengingatkanku pada sebuah diorama di Museum Sejarah Indonesia yang ada di bawah Monas. Ya, nuansa dan temanya sama, yakni tentang pembacaan naskah proklamasi oleh Soekarno. Hanya posisi figurnya yang berubah. Sebagian dari mereka nampak memunggungi satu sama lain.
Di dekat diorama tersebut ada penjelasan dan juga layar yang menjelaskan proses dan makna karya seni tersebut. Rupanya diorama ini adalah bagian dari proses konservasi diorama yang dimiliki oleh Museum Sejarah Indonesia. Ada kekuatiran seperti yang dulu disampaikan pembuat diorama yaitu Edhi Sunarso (alm) kepada Presiden Soekarno bahwa diorama ini kiranya hanya bisa bertahan dua dekade.
Nah, ketika ada rencana revitalisasi museum beserta koleksi diorama, maka Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso bersama para perupa, sejarahwan, dan peneliti lintas disiplin berupaya menyalin figur, Â sambil menyelami dan berdiskusi tentang sejarah kolektif dan politisasi pada masa tersebut. Tindakan ini dilakukan agar tidak terjadi ahistoris yang mengatasnamakan pembaruan.Â
Setiap individu bebas bersuara dan berpendapat, tapi apa sebenarnya makna dari suara-suara dan pendapat tersebut, apakah ada alasan melatarbelakanginya? Para pengunjung di sini bisa menyaksikan bagaimana realitas yang terajut dengan narasi pribadi, sejarah, dan geografi politik dari sudut pandang para perupa.
Ada 24 perupa yang terlibat. Mereka berasal dari Indonesia, Australia, Jepang, Singapura, Vietnam, Thailand, Bangladesh, dan India. Ada Ika Arista, Jumaadi, Metro Koizumi, Natasha Tontey, Khadim Ali, Andrew Nguyen, dan masih banyak lagi.
Nikmati dan Renungi Tiap Karya
Instalasi seni di sini sebagian adalah instalasi seni kontemporer. Karya semacam ini perlu untuk dinikmati dan direnungi untuk memahami pesan yang ingin disampaikan oleh para seniman pembuatnya.
Migration of Flora and Fauna karya Jumaadi, misalnya. Perupa asal Sidoarjo ini menggambar dengan menggunakan cat akrilik di atas kanvas kamasan. Lukisan ini menggambarkan perpindahan flora, fauna, dan budaya yang mengikuti perpindahan manusia tersebut.
Dua lukisan berikutnya membuatku takjub. Lukisan tersebut berukuran besar. Namun ternyata karya seni ini bukan termasuk lukisan, lebih tepatnya disebut tapestri. Kesenian ini umum di Timur Tengah. Jalinan benang dirangkai membentuk sebuah gambar. Kesenian ini tidak mudah dan perlu ketelatenan.
Kedua tapestri berukuran raksasa membuatku terkagum-kagum. Cukup lama aku berdiri di depan tapestri tersebut untuk menikmati setiap bagian gambarnya.
Dalam tapestri tersebut para hewan nampak berupaya berlindung dari semburan naga. Para satwa nampak panik dan bergegas. Naga di sini merupakan simbol dari kebakaran hutan.
Tapestri karya Khadim Ali berikutnya adalah Fragments of Identity. Karya ini sungguh indah, seperti membaca puisi-puisi sastra Persia. Warna-warni dan gaya gambarnya mengingatkan pada cerita 1001 malam.
Sementara Galih Johar memamerkan karya-karya  yang merupakan dekonstruksi untuk membentuk karya baru. Ia mencoba menggabungkan bagian gitar dengan gergaji. Bagaimana jika bata dikombinasikan dengan USB? Karya seni buatannya membuat pengunjung tersenyum dan menebak-nebak fungsinya setelah benda tersebut mengalami rekonstruksi dengan penambahan benda tertentu.
Di ruangan lainnya terpajang lukisan karya S. Sudjojono (alm) berjudul Selamat Tinggal Pak yang dibuatnya tahun 1971. Lukisan ini menggambarkan kesedihannya ketika ayahnya terbunuh pada serangan Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta.
Ada instalasi seni berupa video 12 kanal monitor yang disinkronisasikan yang menunjukkan laku dodok atau jalan berjongkok. Karya ini terinspirasi dari budaya keraton Yogya. Judulnya  Perpetuity karya Nadiah Bamadhaj dari Malaysia.