"Angin lembah datang dengan cepat. Melintasi padang. Pucuk pucuk daun ilalang spontan merunduk. Hanya sesaat..." - salah satu paragraf dalam Prasa
Nukilan novel berjudul Prasa karya Yon Bayu Wahyono ini dibawakan dengan apik dan dramatis oleh Devie Matahari di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Minggu, 29 Oktober 2023.
Bagian dari novel Prasa tersebut memiliki baris-baris yang puitis. Pembaca seakan-akan diajak melebur ke dalam dunia rekaan ala Yon Bayu.Â
Benakku ikut melayang-layang selama kutipan novel tersebut dibacakan. Padang ilalang, tempat yang sepi, dan suasana yang terasa damai.Â
Paragraf demi paragraf dibacakan dengan ekspresif, baris-baris tersebut memiliki diksi yang indah, seperti larik-larik dalam puisi. Tak hanya nada bicaranya yang dramatis, mimik dan gerak-gerik Devie Matahari ketika membacanya begitu memesona. Lewat pembacaan salah satu bagian dari novel Prasa ini aku seperti melihat sisi lain dari Yon Bayu, yang sebelumnya lebih kukenal sebagai penulis opini terutama yang berhubungan dengan politik.Â
Memang aku juga mengenalnya sebagai penulis cerita misteri. Namun tak kusangka ia begitu piawai memilih kata dan merangkainya menjadi baris-baris yang indah dan puitis. Ia berkata kepada kami pada sebelum acara bedah buku, bahwa ia rindu untuk menulis kisah fiksi, sesuatu yang dulu dilakoninya sebelum terjebak rutinitas menulis berita sebagai wartawan.Â
Prasa singkatan dari Operasi Tanpa Nama. Novel Prasa ini berkisah tentang seorang perempuan yang dihadapkan oleh situasi dilematis yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan.
Aku belum pernah membaca novel Prasa yang diluncurkan berbarengan dengan Kelir dalam acara ini. Aku baru tuntas membaca Kelir yang memiliki isu budaya berkaitan dengan kejawen. Ulasan lengkap Kelir di sini (Kelir: Novel Anyar Yon Bayu dengan Isu Kejawen yang Mudah Dicerna)
Karena belum membaca Prasa maka aku belum bisa membandingkan antara kedua novel Yon Bayu. Â Namun dari nungkilan novel yang dibawakan, aku bisa merasakan baris-baris dalam novel Prasa terasa lebih puitis dibandingkan Kelir yang lugas.
Seperti sesi ketika mengulas Kelir, dua narasumber memberikan kritik Sastra dan saran terhadap isi novel. Keduanya adalah budayawan dan dosen FIB Universitas Indonesia Sunu Wasono dan kolomnis, penulis, sekaligus Kompasianer Isson Khairul.Â
Masukan yang kurangkum dari dua narsum di antaranya isi novel Prasa kurang memberi ruang bagi para karakter di dalamnya untuk merenung dan memahami gejolak dalam dirinya. Sisi psikis dan sisi manusiawi para tokoh belum banyak digali. Jika kedua hal tersebut dieksplorasi maka pembaca akan lebih masuk ke dalam cerita.Â
Masukan lainnya yaitu tokoh utama dalam novel Prasa adalah perempuan. Namun, vibe dalam Prasa itu belum terasa perempuan, dialognya masih seperti laki-laki. Mungkin hal ini dikarenakan penulisnya yang memang pria, kelakar narsum.
Tentang Kelir alias Layar atau Panggung
Sebelumnya di sesi awal juga ada pembacaan nukilan naskah Kelir. Naskah Kelir dibacakan oleh Retno Budiningsih baru dilanjutkan sesi kritik Sastra dan masukan narasumber.Â
Saat itu aku datang agak terlambat. Peserta acara bedah buku sudah ramai, kursi-kursi hampir penuh. Peserta sebagian adalah Kompasianer. Lainnya adalah pengunjung umum.Â
Kulihat ada sosok-sosok Kompasianer yang kukenal dari Pak Thamrin Dahlan, mba Muthiah, Sukma Tom, Buncha, Fenni Bungsu dan kakaknya mba Emma, Etha, mba Dian Woro, Pak Agung, Pak Rushan, Yos Mo, mba Denik, Pak Sutiono, mas Tahap, bang Horas, Topik Irawan, dan masih banyak lagi. Para Kompasianer tergantung dalam komunitas Click, Kopaja71, Pulpen, dan Cerpen Sastra yang berkolaborasi mendukung penyelenggaraan acara ini. Mereka semua nampak antusias mengikuti acara hingga berakhir.
Pada sesi ini diskusinya begitu hidup. Pak Sunu mengawali dengan bercerita tentang pengalamannya dalam budaya Nusantara seperti apresiasinya yang besar kepada majalah berbahasa Jawa, Penjebar Semangat yang masih eksis, tentang budaya ziarah dan budaya klenik meminta sesuatu di Gunung Kawi dan Gunung Kemukus, dan lainnya.
Ia kemudian memberikan kritik seperti bagian yang menjelaskan ajaran Padepokan Sabdo Sejati belum nampak di novel ini. Ia bertanya-tanya apa sebenarnya ajaran Ki Lanang Alas yang disebut dalam novel ini karena kurang tergali dalam cerita.Â
Ia menebak-nebak Gunung Candil di novel ini adalah plesetan dari Gunung Srandil di Banyumas. Ia kemudian menggarisbawahi kekurangan huruf 'k' dalam kata yang dobel konsonan 'k' seperti menampakkan, menggerakkan, dan sebagainya di dalam novel.Â
Setelah itu ia memberikan apresiasi yang besar kepada Yon Bayu. Ia merasa salut melihat novel yang kaya akan  riset budaya.
Waktunya Yon Bayu Bercerita
Setelah bedah Prasa, acara dilanjutkan dengan pertanggungjawaban Yon Bayu lalu sesi tanya jawab dengan dimoderatori oleh Nuyang Jaimee. Sesi Yon Bayu ini juga menarik karena ia seperti sedang bermonolog. Dari sesi ini peserta bedah buku juga mendapatkan informasi tentang latar pembuatan kedua novel dan isu yang disampaikan dalam kedua novel ini.
Menurut Yon Bayu, kebenaran ada kalanya begitu menakutkan, serupa kotak pandora. Apakah pelanggaran HAM masa lalu sebaiknya dilupakan dan dimaafkan saja? Operasi tanpa nama ini mengajak pembaca untuk melakukan perenungan.Â
Ada banyak isu yang disampaikan dalam novel ini, seperti alih fungsi hutan jadi ladang sawit. Padahal, hutan adalah rumah bagi banyak suku bangsa, lantas ke mana mereka harus pergi.Â
Tentang Kelir, ada kecenderungan lelaki Jawa ketika sudah menua maka pertarungan dalam gelanggang berikutnya adalah menemukan jati dirinya dengan menepi
Cerita tentang Kelir juga berisi riset dan hal yang ditemui selama ia tinggal dan bekerja di Lampung, Cilacap, Jakarta dan lainnya. Selain bergelut dalam berita politik, ia juga pernah berkutat dengan majalah misteri dari politik. Ini membuat hidupnya berwarna.
Ia mengaku pernah tidur di tempat keramat. Tempat-tempat  keramat sendiri umumnya baru ada tahun 1970an dan sifatnya masal. Ini aneh dan unik karena kemudian Kejawen berkelindan dengan politik
Sunu kemudian menambahkan bahwa apa yang ada di balik novel Kelir itu adalah politik yang tidak beres di kalangan masyarakat, misal pembangunan makam Ki Lanang Alas. Makamnya tidak ada jenazahnya, namun kemudian dikukuhkan dengan ritual hanya demi legitimasi kekuasan. Temu agung dalam cerita ini menurutnya juga sarat kepentingan politik. Dan, ternyata sesuatu yang lumrah di masyarakat ketika budaya Kejawen kemudian berkelindan dengan politik seperti yang dikupas dalam novel ini.Â
Bedah buku yang memberi banyak wawasan tentang budaya dan situasi di beberapa tempat di Indonesia. Sekitar pukul 17.00 WIB diskusi pun berakhir. Waktunya foto bareng dan nongkrong bareng Kompasianer sebelum bubar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H