"Tekun dan harus mengikuti perkembangan jaman merupakan syarat untuk menjadi pelukis yang baik dan terkenal." - Basoeki Abdullah
Sejak tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Museum Nasional. Nah, tema Hari Museum Nasional tahun ini adalah Kolaborasi dan Sinergi yang bisa dimaknai semangat untuk bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menghidupkan semangat juga cinta kepada museum, sejarah, dan pengetahuan. Kita bisa ikut meramaikan peringatan Hari Museum Nasional dengan ikut bercerita pengalaman kita ke museum. Siapa tahu banyak yang penasaran dan ingin berkunjung ke museum setelah mendengar dan membaca cerita kita.Â
Jumlah museum di Indonesia sendiri pada tahun 2019 dikutip dari Kompas (12/10/2023) di mana ada kenaikan jika dibandingkan jumlah museum pada tahun 2014 yang menurut Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman mencapai 365 museum. Belakangan juga banyak galeri seni yang menyematkan nama museum dan menyebutkan diri mereka museum modern.
Nah dalam rangka Hari Museum Indonesia, aku akan bercerita kunjunganku ke Museum Basoeki Abdullah pada Kamis, 11 Oktober silam.Â
Aku tiba di sana sekitar pukul sepuluh lewat. Lokasi museum ini terletak di kompleks perumahan pegawai kementerian keuangan, yakni di jalan Keuangan Raya No. 19, Cilandak Barat Jakarta Selatan. Museum ini tak jauh dari stasiun MRT Fatmawati. Jika berjalan kaki, jaraknya sekitar 1.6 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 25-30 menit.Â
Museum ini buka setiap hari mulai pukul 09.00-15.00, kecuali hari Senin. Memang rata-rata museum di Jakarta tutup pada hari Senin untuk pemeliharaan.Â
Nah setelah membayar tiket masuk sebesar Rp2 ribu untuk orang dewasa maka mulailah aku berkeliling. Ada dua bangunan bersebelahan, bangunan pertama adalah rumah pribadi yang berisikan koleksi permanen tentang riwayat hidup Basoeki Abdullah, koleksi pribadinya, dan juga lukisan-lukisannya. Sedangkan bangunan berikutnya atau gedung II adalah perluasan museum, ada koleksi lukisan juga koleksi untuk pameran temporer. Gedung II ini baru diresmikan tahun 2016.
Di gedung pertama di lantai satu pengunjung diajak berkenalan dengan sosok pelukis satu ini. Ia dilahirkan oleh pasangan  R. Abdullah Suryosubroto dan Raden Nganten Ngadisa pada 27 Januari 1915. Ia merupakan cucu dari pahlawan nasional, dokter Wahidin Sudirohusodo.Â
Basoeki Abdullah belajar di MULO Katolik Solo. Ia lalu mendapat beasiswa belajar di Belanda, lalu melanjutkan pendidikan seni di Academy of Fine Arts di Paris da  Roma.Â
Sejak kecil Ia menunjukkan bakatnya melukis. Rupanya bakat ini diwarisi dari ayahnya. Sejak tahun 1933 Ia mulai banyak melukis dan melakukan pameran keliling, baik dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan ia pernah memenangkan sayembara melukis yang diselenggarakan dalam rangka penobatan Ratu Yuliana.Â
Ia kemudian banyak melukis tokoh-tokoh nasional dan kepala negara berbagai negara. Ia juga pernah menjadi pelukis istana Thailand. Basoeki berpulang pada 5 November 1993 karena sebuah peristiwa yang mengenaskan.Â
Memorial itu bisa dilihat di ruang tidur yang menjadi saksi bisu peristiwa pembunuhan tersebut. Di ruang tidur tersebut sang pelukis juga membaca dan berdoa. Di koleksi memorial dipajang koleksi arloji, uang, senapan, dan baju yang dikenakan almarhum. Koleksi ini membuat sedih pengunjung yang melihatnya.Â
Di lantai pertama ini pengunjung juga bisa menyaksikan koleksi senjata dan aksesoris, koleksi benda pribadi seperti jas dan lukisan reproduksi Ratu Yuliana. Juga ada replika ruang tamu dan foto diri beserta keluarganya. Di ruangan lainnya pengunjung bisa membaca koleksi buku di perpustakaan pribadi miliknya. Di sana juga ada potret lukisan Nyai Roro Kidul (reproduksi digital).Â
Nah di lantai dua, koleksi lukisan dirinya bisa dinikmati. Ada jenis lukisan alam, potret diri dan keluarganya, juga lukisan abstrak yang ditampilkan. Wah inilah salah satu inti dari museum ini, menikmati karya dari sang maestro. Mata rasanya tak puas-puas memandang tiga lukisan masterpiece di bidang alam yang dilukisnya dengan cat minyak. Ada Flora Fauna Kekayaan Alam,Terpecah Belah Terbawa Arus ke Alam Semesta, dan Sungai Tak Pernah Kembali. Ia memang pelukis naturalis meski kemudian juga menjajal impresionisme.Â
Lukisan-lukisan ini seperti menyihirku menjadi patung. Aku diam sembari menikmati setiap detail lukisannya. Warna-warna yang dipilihnya, serta gaya melukisnya memang indah dan menghasilkan karya yang menawan sekaligus dramatis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H