Malam ini mata sulit terpejam. Suasana di lingkungan rumah begitu sepi dan tenang, kucing-kucing lelah dan terlelap. Akhirnya aku membaca buku bu Asita Djojo Koesoemo alias Asita DK yang kubeli kemarin siang. Banyuwangi "Sunrise of Java", judulnya.
Halaman demi halaman kubaca. Total ada 225 halaman. Sambil membaca aku terkenang perjalanan ke Banyuwangi pada masa silam.
Dua kali aku ke Banyuwangi. Yang pertama merupakan perjalanan solo, kutempuh dengan kereta dari Jakarta ke Surabaya dan Surabaya ke  Banyuwangi. Perjalanan berikutnya dengan kendaraan pribadi bersama pasangan dari Malang.
Ada bagian-bagian dalam buku yang membuatku mengingat pendakian ke Kawah Ijen, melelahkan tapi juga menyenangkan. Pendakian pertama dan kedua ternyata punya cerita yang berbeda, juga panorama alam yang juga berlainan. Cerita ke kawah ijen pertama dan kedua bisa di baca di ini dan itu.Â
Aku tersenyum ketika membaca bagian sabana Baluran. Ah aku teringat suara-suara monyet-monyet dan binatang liar yang membuatku sulit terlelap saat menginap di dalam wilayah hutan tersebut. Lumayan seram tapi juga pengalaman yang berkesan.
Selama membaca, aku makin kagum dengan bu Asita. Aku tak ingat kapan kali pertama berjumpa dengan ibu mantan wartawan ini, namun yang kuingat adalah sapaan dan senyumannya yang hangat. Ia penulis senior yang rendah  hati dan ramah. Sepertinya sejak 2015 atau malah lebih lama, aku mengenalnya.
Ada dua buku karya bu Asita yang ada di rak bukuku. Yang pertama buku tentang Pak Jokowi yang ditulisnya berdua. Lalu ada buku solonya tentang Flores yang sudah pernah kubuat ulasannya (baca di sini). Buku Banyuwangi ini menjadi buku koleksi ketiga karya bu Asita.
Ketika berjumpa di acara peluncuran buku yang dihelat di O2 Corner Co-working Space Kompas Gramedia yang diadakan Sabtu, 24 Juni, bu Asita bercerita ini adalah buku solo ketiganya. Ia memerlukan kurang lebih enam bulan untuk menulisnya. Dibantu dengan Anna R. Nawaning sebagai editornya, penulis yang juga aktif di Kompasiana.
Bu Asita memang sering bercerita tentang Banyuwangi. Kampung halamannya sendiri adalah Jember. Rupanya Banyuwangi adalah kampung halaman suami dan mertuanya.
Buku Banyuwangi "Sunrise of Java" sendiri terasa hangat dan personal. Di dalamnya pembaca bisa merasakan pengalaman dan kesan-kesan bu Asita selama liburan di Banyuwangi. Deskripsinya di beberapa tulisan mendetail, sehingga pembaca bisa merasai seolah-olah berada di sana.
Rupanya Banyuwangi punya banyak makna bagi bu Asita, terutama pada masa kecilnya. Ayah bu Asita pernah bertahun-tahun bekerja di perkebunan di Banyuwangi, sehingga ia sering mengunjungi daerah yang terkenal akan tarian Gandrung ini. Asita kecil juga pernah mencicipi bangku sekolah di Banyuwangi dan berjumpa dengan kawan-kawan yang sebagian berbahasa Madura. Ya selain bahasa Osing, bahasa Madura banyak digunakan warga Banyuwangi karena lokasinya juga masuk daerah tapal kuda.
Ada empat bagian dalam buku ini. Yang pertama tentang tujuan wisata Banyuwangi. Kedua tentang kuliner. Ketiga membahas tentang legenda Banyuwangi. Dan, yang terakhir adalah tipe dan cara ke daerah ini.
Ada banyak foto yang melengkapi penjelasan dalam buku ini. Bagian yang seru menurutku adalah tentang makanan karena ada banyak jenis makanan yang belum pernah kucobai dan membuatku tergoda untuk mencicipinya. Nasi tempong aku menyukainya, tapi aku belum berkesempatan mencicipi rujak soto. Sego cawuk dengan aneka lauk dari pepes ikan, telur cit, tahu bali, gecok teri, dan sambal serai plus kuah ikan pindang juga membuatku penasaran. Â Apa pula rujak cemplung dan rujak iris ramonan itu. Tape buntut dan kopi osing juga nampak sedap dan menarik untuk dicoba.
Selain tentang makanan yang membuat penasaran, aneka tujuan wisata juga sebagian belum pernah kukunjungi, seperti Pulau Tabuhan dan Bangsring Underwater Ekowisata. Wah sepertinya perlu dua, tiga, atau berkali-kali kunjungan untuk bisa mengeksplorasi segala hal tentang Banyuwangi.
Oh iya buku ini menurutku  sedikit lompat-lompat dan ada yang berulang. Akan lebih mengalir dan lebih maksimal pengalaman membaca apabila urutannya diubah dari legenda Banyuwangi, baru ke tujuan wisata, kuliner, budaya oleh-oleh, penginapan, dan tips menuju ke sana.
Setelah membaca sepertiga buku, aku mulai mengantuk. Kutahan-tahan dulu sambil menunggu Subuh dan matahari terbit, agar aku bisa merasakan suasana matahari terbit seperti di Banyuwangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H