Sekitar pukul sebelas siang kami tiba di Alun-alun Jepara. Kekecewaan kami akan kurang terawatnya situs bersejarah di Jepara yang kuceritakan di artikel sebelumnya  (wisata heritage Jepara) terbayar di Museum R.A Kartini. Lokasi museum ini terletak tak jauh dari alun-alun yang asri dan rapi.Â
Harga tiketnya Rp5 ribu untuk anak-anak dan Rp8 ribu untuk kaum dewasa. Sepertinya harga tiket untuk museum dan situs bersejarah di sekitaran Jepara telah terstandar.Â
Bangunan museum berbentuk joglo ini terbagi tiga ruang koleksi. Yang pertama adalah koleksi tentang masa hidup  Kartini dan keluarganya. Berikutnya adalah koleksi kakak Kartini, Sosro Kartono. Yang ketiga adalah ruang yang menyimpan benda-benda purbakala, termasuk tulang ikan yang ditemukan di Jepara.Â
Ok, mulailah kami melihat-lihat koleksi di ruangan pertama. Ada banyak foto Kartini dan keluarganya, manuskrip, koleksi perabotan yang pernah digunakan oleh Kartini, termasuk peralatan makan, juga buku-buku tentang Kartini dan benda-benda kerajinan tangan yang dibuat oleh Kartini dan saudarinya.Â
Koleksi-koleksi ini terasa personal. Aku jadi lebih mengenal sosok Kartini sebagai sosok perempuan yang dinamis, penuh rasa ingin tahu, dan multitalenta.Â
Ia piawai menulis. Hingga saat ini surat-suratnya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia tetap enak dibaca. Pilihan katanya dan juga isinya membuatku kagum.Â
Kartini juga punya citarasa tinggi akan seni. Ia mahir membuat desain ukir. Ia mendesain serat tungku api dan kotak kayu. Ia juga piawai membatik, membuat renda, dan melukis. Â
Di ruangan berikutnya adalah koleksi sang kakak, Sosro Kartono yang menguasai berbagai bahasa dan pandai menyusun kata dalam bentuk geguritan. Sosoknya pernah muncul dalam film Kartini besutan Hanung dan film Wage.Â
Di ruang koleksi sang kakak tak banyak papan informasi. Namun pengunjung akan merasakan sisi lain dari sosoknya yang ternyata puitis. Ia sendiri dikenal sebagai sosok jenius dari timur.Â
Ruang berikutnya adalah koleksi purbakala, dari prasasti Candi Angin, tulang ikan raksasa, mata uang kepeng, peralatan upacara keagamaan, tembikar, arca, dan masih banyak lagi. Sayangnya di ruang koleksi ini tak banyak papan informasi, padahal koleksinya menarik.Â
Perjalanan berikutnya adalah menuju Kudus. Dari Jepara ke Kudus tak memakan waktu lama, sekitar dua jaman. Kami  tiba hampir pukul dua siang.Â
Museum Jenang Kudus yang Punya Sejarah Panjang
Museum Jenang ini dikelola oleh pabrik jenang terkenal di Kudus, yakni Jenang Mubarok. Lantai satu adalah lantai yang menjual jenang dan aneka camilan lainnya. Sedangkan lantai dua dikhususkan untuk museum. Ada mushola dan toilet yang bersih di sana.
Koleksi utamanya adalah cerita tentang jenang, dari legenda jenang yang berkaitan dengan Sunan Kudus, hingga proses pembuatan jenang pada masa lampau dan kini. Kemudian juga ada koleksi Gusjigang yang menjadi salah satu prinsip hidup masyarakat Kudus. Koleksi lainnya yakni berkaitan dengan Kudus, yaitu cerita tentang pendiri rokok kretek Nitisemito dan sosok Sosro Kartono yang dimakamkan di Kudus.Â
Jenang Kudus konon lahir dari cerita rakyat di Desa Kaliputu, Kudus. Saat itu ada anak yang mati suri setelah hanyut. Untuk membangunkannya Syekh Jangkung yang merupakan murid Sunan Kudus, meminta si anak disuapin jenang bubur gamping dari tepung beras, garam, dan santan. Si anak pun tersadar dan pulih.Â
Saat itu Sunan Kudus berkata "Suk nek ono rejaning jaman wong Kaliputu uripe seko jenang"Â (Suatu saat kelak ada masa sumber kehidupan warga Desa Kaliputu dari membuat jenang). Itulah legenda yang mendasari jenang di Kudus. Sehingga usia jenang sudah berabad-abad. Sebagai rasa syukur, maka pada 1 Muharram diadakan arak-arakan jenang atau yang disebut Kirab Tebokan.Â
Ada diorama dan koleksi yang menunjukkan proses membuat jenang pada jaman dulu. Bahan jenang yang berupa garam diganti gula merah sehingga manis.Â
Proses memasak jenang pada jaman dulu tentu tak sama dengan masa sekarang. Saat itu peralatan masih sederhana. Ada lumpang, alu, juga ada wajan atau kuali besar untuk memasak dan tebokan atau wadah jenang. Mata rantai usaha jenang jaman dulu cukup panjang dan membuka banyak mata pencaharian, dari petani hingga pedagang yang mengiris-iris jenang dan menjualnya di pasar.Â
Koleksi berikutnya yang menarik dari museum ini adalah koleksi Gusjigang. Gusjigang adalah falsafah hidup yang diturunkan oleh Sunan Kudus, merupakan akronim dari Bagus, Ngaji, dan Dagang. Diharapkan seseorang bagus kepribadian dan spiritualnya, juga memiliki jiwa kewirausahaan. Rupanya Sunan Kudus selain seorang wali juga seorang saudagar.Â
Koleksi dan ruangan ditata elegan dan megah. Ada ruang trilogi ukhuwah, sosok ulama dari Kudus, dan puisi-puisi tentang Gusjigang. Trilogi ukhuwah yang dimaksud adalah persaudaraan sesama muslim, ikatan kebangsaan, dan ikatan kemanusiaan. Juga ada ruang Asmaul Husna, galeri Al-Quran, dan galeri kaligrafi. Â Ada mushaf dari daun lontar dan sebagainya. Â Wah koleksi yang menarik.Â
Kunjungan kami yang terakhir adalah menuju Museum Kretek dan Masjid Al-Aqsa Menarat Kudus atau yang umum disebut Masjid Menara Kudus. Lokasinya masuk ke dalam gang mengingatkanku saat berkunjung ke Masjid Ampel. Cerita tentang kedua situs ini akan kuceritakan di artikel berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H