Saat itu masih banyak pepohonan tinggi nan rimbun di sepanjang jalan dekat rumahku. Aku, kakak, dan paman berjalan-jalan menikmati pagi yang terasa sejuk. Udara begitu segar dan cuaca sedikit berkabut. Dari nafas kami ke luar asap tipis seperti film berlatar salju holiwud. Itulah kenangan masa kecilku tentang kampung halamanku.
Ingatanku kemudian terlempar ke puluhan tahun lalu. Di tempat yang berbeda, aku dan kawan-kawan SD gemar mengeksplorasi jalan-jalan di sana situ. Ada kalanya kami menemukan harta karun di situ. Es potong yang sedap, atau pernak-pernik lucu. Kami juga suka melihat-lihat kampung di sekitar sungai, jalannya sempit dan menurun. Aku menyebutnya ekspedisi jalan-jalan tikus.
Kini di tempat yang sama, suasana dan kondisinya telah berubah. Pepohonan telah banyak dibabat. Jalan kaki jadi terasa kurang nyaman, karena sering dipepet kendaraan. Hawa Malang juga telah berubah, gerah dan panas, hampir seperti Jakarta.
Kampung-kampung yang suka kutelusuri ketika masih kecil juga berubah wajah. Lebih padat dan sesak. Aku jadi susah mengenalinya.
Kenangan itu sebagian telah memudar karena kondi saat ini yang banyak berubah. Namun kenangan-kenangan yang tersisa kujaga sebaik-baiknya. Terutama, kenangan bersama keluarga besar dan teman-teman yang bersamaku dari kecil hingga dewasa.
Ya, kota tersebut mengikatku dengan kenangan. Dari suasana, aroma, makanan, tempat wisatanya hingga orang-orang dan kucing-kucing yang pernah tinggal di dalamnya. Selama 18 tahun aku besar di sana, memang terjalin begitu banyak kenangan yang terjalin di sel-sel otak, sehingga mau tak mau aku akan selalu terjalin dengan kampung halaman, kota Malang. Bahkan hingga saat ini aku tak bisa melepaskan dialek Jawatimuran selatan yang kental.
Semua karena kenangan sehingga segala baik dan buruk kota itu juga kuterima. Malang yang sekarang berubah wajah, baik dan buruknya juga kuterima, meski ada kalanya aku ingin marah dan berharap kondisi seperti sediakala. Ketika kota ini belum begitu padat penduduk, ketika udara masih sejuk, dan ketika belum banyak pusat perbelanjaan. Tapi yang pasti kata orang bijak adalah perubahan, entah perubahan ke sesuatu yang baik ataupun sebaliknya.
Bakal rugi jika fokus ke jelek-jeleknya, masih banyak hal menarik di kota ini, sesuatu yang tak banyak berubah dan masih eksis. Apalagi kalau bukan aneka makanannya yang sedap dan menarik.
Ada sekian banyak makanan yang kucari apabila pulang ke kampung halaman, dari bakso, bubur campur, ronde dan angsle, serabi, putu cenil, nasi goreng mawut, tahu campur, rujak cingur, pecel, rawon, hingga kupang.
Tahu campur adalah makanan yang selalu kucari di kampung halaman. Untunglah penjual makanan asal Lamongan ini ada di dekat rumah. Makanan ini punya kuah dengan kaldu yang cokelat dan sedap. Ada campuran petis di dalam kuah sehingga rasanya unik. Di dalamnya terdapat potongan daging sapi berlemak, sawi hijau, potongan tahu, dan perkedel singkong. Kadang-kadang ditambahkan soun dan krupuk.
Makanan ini susah kutemui di Jakarta. Oleh karenanya jika ada kesempatan bertemu makanan ini di Malang, aku ingin menyantapnya. Kuahnya yang hangat dan sedap mengguyur kerongkongan. Daging yang empuk diselingi dengan sawi hijau yang segar, seperti menyerap rasa enek lemaknya.
Makanan kedua yang susah untuk kuhindari adalah bubur campur. Seperti namanya, bubur ini kaya rupa dan kaya warna. Ada warna cokelat, hitam, merah muda, hijau muda, dan putih. Warna cokelat dari grendul alias bijih salak. Hitam dari ketan hitam. Merah muda dari pacar cina. Hijau muda dari bubur sunsum. Dan, putih dari santan kelapa. Warna-warni dan aneka rasa itu dipadukan dengan kuah santan yang gurih. Setiap  warna mewakili rasa tertentu yang unik dengan tekstur tersendiri. Bubur yang sedap dan cukup mengenyangkan.
Setiap menyantap bubur campur aku terkenang dengan mendiang nenek. Nenek suka membawakan oleh-oleh bubur campur apabila ia ke pasar. Kami kemudian menyantap berdua di meja makan nenek, sambil bercerita keseharian.
Lagi-lagi aku susah menghindar dari makanan yang manis di Malang. Makanan masa kecil yang sering dibelikan mendiang tanteku adalah Puthu Lanang alias puthu celaket. Penjual kue putu dan teman-temannya itu sudah lama sekali hadir di kota Malang dan termasuk kudapan legendaris.
Ada kalanya aku dan tante berjalan kaki menuju penjual kue puthu tersebut. Kami kemudian bergabung dengan antrian yang panjang. Aku tak bosan menunggu karena bisa menyaksikan tangan-tangan yang lincah memotong-motong lupis, menata puthu, cenil, kelepon, dan lupis dalam daun pisang yang dipincuk, lalu diguyur parutan kelapa dan gula merah cair.
Kini harganya sepuluh ribu rupiah per porsi. Ukurannya besar tiap porsinya sehingga bisa disantap dua orang. Kue puthu yang harum pandan bersanding dengan lupis yang gurih. Cenil  yang kenyal kompak berpadu dengan kelepon yang memiliki kejutan lava gula merah ketika digigit. Sedap.
Makanan-makanan di kampung halaman tak pernah mengecewakan. Mereka menciptakan memori demi memori setiap aku menyantapnya. Kenangan-kenangan yang membuatku ingat akan kampung halaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI