Langit yang gelap perlahan-lahan mulai semburat memerah. Suara deru angin beriringan dengan riak ombak dan kicau burung laut, menciptakan harmoni bak musik orkestra alam. Dalam benakku, mengalun lagu Matahari Pagi dari Banda Neira. Matahari terbit yang luar biasa dari atas kapal nelayan. Rasanya tak sia-sia kami berangkat usai Subuh demi menyaksikan panorama yang elok di Lovina, Bali, melihat kawanan lumba-lumba yang lincah menari-nari di perairan,  kemudian snorkeling menikmati keindahan bawah permukaan laut. Aku berharap cucu dan cicitku nanti juga bisa menikmati keindahan alam ini.
Lovina terletak di Bali Utara. Di sini wisatawan dapat menyaksikan lumba-lumba liar dan snorkeling. Tak jauh dari Lovina, ada air terjun dengan debit air yang cukup deras, Â air terjun Gitgit, namanya.
Yang membuatku kagum, tempat wisata ini tetap nampak alami dan bersih. Rupanya Badan Lingkungan Hidup di Kabupaten Buleleng, aktif mengajak para pelaku wisata untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam. Wisatawan juga diimbau untuk tidak membuang sampah sembarangan dan merusak alam, seperti mencabut tanaman, mengambil ikan atau lainnya dari alam, dan mencoret-coret pepohonan dan bebatuan.
Isu sampah di tempat wisata alam ini memang penting dan meresahkan. Sekitar tahun 2018 dan 2019 marak pemberitaan tentang tumpukan sampah di pantai-pantai dan laut Karimunjawa. Sebagian sampah dihasilkan oleh wisatawan. Sampah-sampah tersebut berupa bungkus plastik, styrofoam, sedotan plastik, kaca, dan masih banyak lagi.
Tentunya sampah ini selain mengurangi keindahan Karimunjawa, juga membahayakan kelangsungan ekosistem perairan Karimunjawa, dari merusak terumbu karang hingga bisa membahayakan penghuni lautan seperti ikan dan penyu. Bungkus plastik akan berbahaya bila dikonsumsi ikan. Begitu juga dengan sedotan plastik yang bisa melukai alat pernafasan penyu.
Masalah sampah juga masih menjadi isu di tempat pendakian. Tak sedikit pendaki yang meninggalkan sampah, baik sampah organik maupun sampah nonorganik. Padahal oknum tersebut mengaku pencinta alam, tapi sayangnya malah merusak alam.
Ketika aku berkunjung ke Gunung Api Purba Nglangeran pada tahun 2019, Â salah seorang guide lokal bercerita bahwa mereka harus kerja keras mengedukasi wisatawan untuk menjaga kebersihan di tempat wisata. Namun, sayangnya masih saja ada wisatawan yang tega membuang sampah di kawasan pegunungan. Padahal tumpukan sampah akan mengurangi keindahan alam, membawa bibit penyakit, dan juga bisa berbahaya bagi spesies yang ada di kawasan tersebut.
Selain masalah sampah, masih ada saja pengunjung yang suka 'menyiksa' pepohonan dan bebatuan dengan mencoret-coret, serta mengambil tanaman langka seperti bunga edelweis, membawa pulang pasir pantai dan karang. Padahal hal tersebut dilarang karena bisa mengubah bentang alam, merusak alam, dan akan dikenakan denda yang besar.
Masalah lainnya yang sering dijumpai di obyek wisata alam yakni jumlah wisatawan yang terlalu membludak pada saat peak season atau karena tempat wisata tersebut lagi viral. Kejadian di Karimunjawa di mana wisatawan seperti 'cendol' yang menutupi perairan, misalnya. Selain tak nyaman, juga bisa menganggu ekosistem perairan. Ranu Mandiri, misalnya. Pegunungan cantik di Mojokerto ini rusak setelah viral karena jumlah pengunjung membludak, hamparan rumput rusak dan penuh dengan tumpukan sampah.
Bangga Berwisata di Indonesia itu Harus Tapi Peduli Alam Juga Wajib
Ada banyak cara untuk mewujudkan pengalaman berwisata yang bertanggung jawab peduli kepada keberlangsungan alam alias sustainabilty and responsibility tourism. Ada juga yang menyebutnya sebagai ecotourism. Definisi ecotourism sendiri adalah kegiatan wisata yang bertujuan untuk memupuk rasa cinta dan peduli kepada alam. Berikut berbagai cara menjadi wisatawan yang bertanggung jawab.
Jangan Buang Sampah di Tempat Wisata
Sebenarnya anjuran jangan buang sampah sembarangan ini sederhana dan telah diajarkan di sekolah-sekolah. Tapi entah kenapa implementasinya di tempat wisata alam ini susah, Â guide lokal dan petugas harus sering-sering mengedukasi wisatawan agar tak meninggalkan sampah seenaknya.
Aku jadi ingat pengalamanku saat samping dan berwisata di kawasan air terjun di Pujon, Batu, dalam rangka latihan alam teater saat SMA.
Hari itu usai makan siang dan beribadah kami siap untuk melakukan acara pamungkas latihan alam dari rangkaian diklat teater sekaligus pengukuhan kami sebagai anggota. Kami akan menjelajah bebukitan dan sungai-sungai sekaligus berlatih teater. Masing-masing peserta membawa wadah untuk menampung sampah. Sambil latihan alam, kami juga akan memungut sampah sepanjang perjalanan. Itulah pengalaman pertamaku mencicipi ecotourism.
Oleh karena edukasi sampah bagi wisatawan masih sesuatu yang menantang, sepertinya perlu adanya sanksi berupa denda atau sesuatu yang membuat kapok pelakunya.
Di Gunung Semeru sekarang aturannya ketat, pendaki diperiksa barang yang dibawanya seperti rokok. Jika ia meninggalkan sampah, maka ia diminta kembali membawa sampahnya atau di-blacklist. Hal yang sama dan dilakukan lebih awal yaitu di Pantai Tiga Warna, Malang. Tiap wisatawan diperiksa bawaan dan dihitung jumlahnya. Ketika ia kembali maka jumlah dan jenis barangnya harus sama persis.
Mengajak Wisatawan untuk Melepaskan Anak Penyu, Bertanam Bakau, Menanam Terumbu Karang, Melakukan Penghijauan, dan Adopsi Pohon
Para wisatawan akan lebih mudah untuk mencintai alam apabila diajak untuk ikut serta, misalnya ikut melepas anak penyu di pantai. Aku pernah merasainya di Lombok, Derawan dan Ujung Genteng. Mereka akan mendapat edukasi untuk mencintai penyu.
Selain itu mereka juga bisa diajak untuk bertanam bakau. Waktu itu saya pernah merasai pengalaman ini di Pulau Tidung. Ternyata bertanam bakau tidak mudah.
Terumbu karang adalah bagian dari ekosistem laut yang penting. Sayangnya banyak terumbu karang yang rusak karena ulah wisatawan. Nah di  Belitung, biasanya ada yang mengajak wisatawan untuk ikut menanam terumbu karang.
Agar rasa cinta kepada alam makin besar maka wisatawan juga bisa diajak bertanam dan melakukan adopsi pohon di hutan. Besaran adopsi satu pohon tidak mahal, mulai dari lima puluh ribu rupiah selama setahun.
Edukasi Jangan Mengambil Sesuatu dari Alam
Ada banyak wisatawan yang tak tahu bahwa mengambil sesuatu dari alam seperti tanaman di pegunungan, pasir pantai dan karang itu membahayakan ekosistem dan bisa mengubah bentang alam. Selain itu, tindakan tersebut juga melanggar Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Hukumannya satu tahun kurungan atau denda maksimal Rp50 juta. Wuih hati-hati ya.
Mengurangi Pemakaian Bahan Kimia di Wisma Apung dan Tempat Lainnya
Apabila sedang berlibur dan menginap di wisata apung atau tempat yang masih alami, maka kurangi atau sebaiknya jangan gunakan produk berbahan kimia ketika mandi atau mencuci pakaian, agar alam tetap lestari. Ada ragam tanaman dan bahan alami yang bisa digunakan untuk membersihkan tubuh yang bisa dipelajari dari masyarakat setempat. Wawasan bertambah, alam juga terjaga.
Membatasi Jumlah Wisatawan
Jangan hanya karena duit, maka wisatawan dibiarkan membludak. Yang ada malah bakal rugi besar, alam rusak dan tak akan menarik perhatian wisatawan lagi. Penting bagi pengelola wisata alam di Indonesia untuk membatasi jumlah pengunjung.
Di pantai Tiga Warna, misalnya. Jumlah pengunjung dibatasi maksimal 100 orang tiap dua jam. Ini penting demi kelestarian dan kenyamanan pengunjung tersebut. Kebijakan ini bisa ditiru pengelola wisata alam lainnya agar keindahan dan kelestarian wisata alam tersebut terjaga.
Alam Indonesia luar biasa indah. Dari pegunungan hingga perairan semuanya indah. Oleh karenanya kita patut bangga dengan alam kita. Di Indonesia aja sudah banyak panorama indah yang bisa dinikmati. Tapi jangan lupa untuk menjadi wisatawan yang teredukasi dan bertanggung jawab. Agar alam tetap indah dan bisa dinikmati dari satu generasi ke generasi lainnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI