Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Makna Ramadan Dulu dan Sekarang

1 April 2023   23:36 Diperbarui: 1 April 2023   23:44 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Seiring bertambah usia, aku memiliki pandangan yang berubah terhadap makna Ramadan. Makna bulan suci ini saat aku masih anak-anak, remaja, saat mulai bekerja, dan pada masa sekarang memiliki pergeseran. Meski ada satu hal yang sama yakni Ramadan adalah bulan yang istimewa.

Saat aku masih kecil, bulan Ramadan adalah bulan yang paling menyenangkan. Ibu selalu menyiapkan menu istimewa saat berbuka puasa. Bukan makanan yang mewah, namun menu yang menyenangkan bagiku. 

Pasti ada takjil yang segar dan lezat. Minimal ada dawet, bubur kacang ijo, dan kolak dengan aneka isian. Ada kalanya ayah membawakan es campur, es degan, dan es buah. Jika sekolah libur, aku dan kakak ikut membantu membuat takjil favorit yakni es podeng.

Selain menu takjil yang beragam dan semuanya nikmat, pada bulan Ramadan sering ada acara asyik di masjid dan sekolah. Jam pulang sekolah juga lebih cepat. Malamnya kami bisa beramai-ramai tarawih ke masjid. Kemudian, mendekati hari raya, kami akan membuat kue kering bersama-sama. Ini juga momen yang menyenangkan.

Ya, versi anak-anak diriku beranggapan Ramadan itu bulan yang menyenangkan.

Pendapat ini kemudian berubah ketika aku memasuki masa remaja. Aku lebih memaknai serius bulan ini dengan memperbanyak amalan ibadah seperti tadarusan setelah sholat Subuh dan Maghrib. Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh keberkahan dan waktu di mana doa-doa lebih manjur untuk dikabulkan. Aku berharap doa-doaku untuk masuk ke sekolah favorit pun dikabulkan pada bulan tersebut, tentunya diiringi dengan belajar giat.

Yang kuingat momen Ramadan saat itu dipenuhi dengan banyak kegiatan. Ada banyak kegiatan remaja masjid yang kuikuti. Setiap usai sahur, aku juga tidak kembali tidur. Melainkan, sibuk belajar. 

Belajar seusai sahur menurutku menyenangkan. Suasana tenang dan damai. Ya makna Ramadan saat itu bagiku bulan yang penting untuk memperbanyak amalan, termasuk bulan untuk belajar giat.

Ketika bekerja dan merasai jadi kuli tinta, makna Ramadan bergeser. Aku merasa bulan ini menjadi penuh tantangan untuk beribadah. 

Pekerjaan wartawan ke sana ke sini sungguh melelahkan. Ada kalanya aku juga meliput kuliner saat siang hari, sungguh sebuah ujian.

Saat itu bulan Ramadan seperti bulan-bulan biasa. Pekerjaan tak ada bedanya, aku tetap pulang sekitar pukul 22.00 setiap harinya dan tengah malam setiap hari Senin. Alhasil aku sahur sebelum tidur atau melewatkan sahur.

Bulan Ramadan saat itu cukup berat, tapi aku jadi sadar di luar sana ada banyak mereka yang tetap bekerja keras selama bulan Ramadan. Para pekerja lapangan, petani, kuli bangunan, atlet, dan pekerja fisik tetap bekerja seperti biasanya pada bulan Ramadan. Mereka tetap tabah dan menjalankan ibadah puasa dengan sungguh-sungguh.

Pada saat-saat ini aku jadi malu kepada diriku yang seperti berharap ada keringanan saat menjalankan ibadah puasa. Berharap jam bekerja berkurang, berharap ada makanan istimewa, padahal di luar sana banyak yang tetap bekerja keras dan makan apa adanya.

Kini di usiaku yang sekarang, aku telah melalui banyak hal. Makna Ramadan bagiku juga berbeda dengan apa yang kupahami saat masih anak-anak, remaja, dan masa-masa sebelumnya.

Kini, bulan Ramadan, memiliki makna sebagai momen bagiku untuk slow down. Bergeraklah lebih perlahan-lahan, renungkan apa yang selama ini kulakukan apakah itu baik ataupun buruk, dan bagian mana yang bisa kutingkatkan.

Tak penting lagi ada menu yang istimewa saat berbuka puasa dan sahur, juga tak perlu diperdebatkan mana yang lebih baik antara tarawih di masjid ataupun di rumah, namun yang lebih penting bagiku kini adalah bagaimana diriku setelah puasa berakhir nanti. Jika aku tetap seperti masa sebelum puasa alias tak ada perubahan, maka aku tidak mendapatkan apa-apa selama Ramadan.

Ayah dan ibu mengajarkanku bahwa pada bulan Ramadan inilah empati kita diasah. Masih banyak orang di sekitar yang harus bekerja keras untuk makan setiap harinya. Tidak semua orang bisa makan setiap hari. Dan, ada juga yang memilih berpuasa karena tidak mau mendapat belas kasihan.

Ketika aku menjadi kuli tinta dan harus terus bekerja keras tanpa ada perubahan jam kerja pada bulan puasa, di situ aku mendapat pengalaman mencicipi bagaimana mereka yang bekerja keras namun belum mendapatkan hasil yang cukup. Di sehari-hari ada petani yang gagal panen, penjual keliling yang dagangannya tak laku, dan sebagainya. Mereka sebenarnya perlu dibantu, karena mereka telah bekerja keras namun tak beruntung. 

Kini, bulan Ramadan bagiku memiliki makna untuk lebih banyak merenung, mengevaluasi diri, dan meng-upgrade diri. Empatiku harus lebih terasah, aku harus lebih disiplin dan menghargai waktu baik untuk bekerja maupun untuk beribadah, dan sebagainya.

Makna Ramadan bagiku mengalami perubahan seiring waktu dan usia. Bagaimana dengan kalian?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun