Saat itu bulan Ramadan seperti bulan-bulan biasa. Pekerjaan tak ada bedanya, aku tetap pulang sekitar pukul 22.00 setiap harinya dan tengah malam setiap hari Senin. Alhasil aku sahur sebelum tidur atau melewatkan sahur.
Bulan Ramadan saat itu cukup berat, tapi aku jadi sadar di luar sana ada banyak mereka yang tetap bekerja keras selama bulan Ramadan. Para pekerja lapangan, petani, kuli bangunan, atlet, dan pekerja fisik tetap bekerja seperti biasanya pada bulan Ramadan. Mereka tetap tabah dan menjalankan ibadah puasa dengan sungguh-sungguh.
Pada saat-saat ini aku jadi malu kepada diriku yang seperti berharap ada keringanan saat menjalankan ibadah puasa. Berharap jam bekerja berkurang, berharap ada makanan istimewa, padahal di luar sana banyak yang tetap bekerja keras dan makan apa adanya.
Kini di usiaku yang sekarang, aku telah melalui banyak hal. Makna Ramadan bagiku juga berbeda dengan apa yang kupahami saat masih anak-anak, remaja, dan masa-masa sebelumnya.
Kini, bulan Ramadan, memiliki makna sebagai momen bagiku untuk slow down. Bergeraklah lebih perlahan-lahan, renungkan apa yang selama ini kulakukan apakah itu baik ataupun buruk, dan bagian mana yang bisa kutingkatkan.
Tak penting lagi ada menu yang istimewa saat berbuka puasa dan sahur, juga tak perlu diperdebatkan mana yang lebih baik antara tarawih di masjid ataupun di rumah, namun yang lebih penting bagiku kini adalah bagaimana diriku setelah puasa berakhir nanti. Jika aku tetap seperti masa sebelum puasa alias tak ada perubahan, maka aku tidak mendapatkan apa-apa selama Ramadan.
Ayah dan ibu mengajarkanku bahwa pada bulan Ramadan inilah empati kita diasah. Masih banyak orang di sekitar yang harus bekerja keras untuk makan setiap harinya. Tidak semua orang bisa makan setiap hari. Dan, ada juga yang memilih berpuasa karena tidak mau mendapat belas kasihan.
Ketika aku menjadi kuli tinta dan harus terus bekerja keras tanpa ada perubahan jam kerja pada bulan puasa, di situ aku mendapat pengalaman mencicipi bagaimana mereka yang bekerja keras namun belum mendapatkan hasil yang cukup. Di sehari-hari ada petani yang gagal panen, penjual keliling yang dagangannya tak laku, dan sebagainya. Mereka sebenarnya perlu dibantu, karena mereka telah bekerja keras namun tak beruntung.Â
Kini, bulan Ramadan bagiku memiliki makna untuk lebih banyak merenung, mengevaluasi diri, dan meng-upgrade diri. Empatiku harus lebih terasah, aku harus lebih disiplin dan menghargai waktu baik untuk bekerja maupun untuk beribadah, dan sebagainya.
Makna Ramadan bagiku mengalami perubahan seiring waktu dan usia. Bagaimana dengan kalian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H