"Saban malam ibu kami yang jelata
membersihkan pikiran anak-anaknya
dari godaan kuat sukses dan kaya
dengan mudah, cepat, dan celaka" (Ibu Kami, Joko Pinurbo)
Sebuah bait puisi yang tersemat di bagian belakang cover buku Epigram 60 karya Joko Piburbo terasa singkat, namun memikat. Pilihan diksinya lugas, namun isinya bernas, tentang nasihat ibu kepada anak-anaknya agar tak tergiur menjadi kaya secara instan.
Sepertinya Pak Ang Tek Khun yang akrab disapa Pak Khun tahu aku lagi jenuh sampai rasanya kehilangan minat beberapa hal yang kusukai, dari menulis, menonton film, hingga membaca buku. Ia mengirimkan paket yang di antaranya berisi buku-buku. Salah satu yang langsung menarik perhatianku adalah buku karya Joko Pinurbo.
Aku langsung membaca puisi-puisi karya sastrawan favoritku ini. Aku mengoleksi beberapa karyanya seperti Telepon Genggam dan Kekasihku. Aku juga pernah menyaksikannya membaca puisi-puisi karyanya di sebuah festival budaya di Surabaya. Oleh karenanya aku begitu senang mendapatkan buku puisi ini.Â
Banyak hal yang menarik dan berkesan dari puisi-puisi karya Joko Pinurbo. Ia tak banyak menggunakan diksi yang berbunga-bunga. Ada banyak puisinya yang menggunakan bahasa lugas, bahasa keseharian.
Puisinya seringkali singkat hanya satu hingga beberapa bait. Namun ia pandai memberikan kejutan di tiap puisinya. Seringkali jenaka, namun ada kalanya ia memberikan pesan dan kritik sosial yang bernas. Seperti puisi-puisi dalam buku ini.
Sastrawan kelahiran Sukabumi ini pada 11 Mei lalu tepat berusia 60 tahun. Ia seperti memberikan kado bagi dirinya sendiri dan para fansnya lewat Epigram 60 ini.
Menurut KBBI, Â epigram bermakna "syair atau ungkapan pendek yang mengandung gagasan atau peristiwa yang diakhiri dengan pernyataan menarik dan biasanya merupakan sindiran". Memang puisi-puisi di buku ini pendek-pendek. Rata-rata hanya satu bait yang terdiri dari satu hingga belasan larik.
Total ada 60 epigram dalam buku ini yang terbagi menjadi empat sajian. Tema epigramnya dari yang bersifat spiritual, buku-buku, keseharian, hingga kritik sosial.
Ada dua puisi yang ia tujukan kepada sastrawan dan seniman yang akrab dengannya. Yakni puisi Tembang Tidur untuk Gunawan Maryanto (alm) dan Kursi Mas Butet untuk Butet Kartaredjasa. Eh ada satu lagi berjudul Pengungsi untuk Dimas.