Pedagang keliling adalah salah satu fenomena yang menarik di Indonesia. Aku tak tahu apakah pedagang keliling di negara lain masih ada. Menurutku kehadiran pedagang keliling sangat membantu, namun sayangnya dengan perkembangan teknologi seperti aplikasi belanja, kehadiran mereka mulai tersisihkan, terutama kaum muda.
Dulu waktu kecil, aku suka menyisihkan uang saku untuk jajan di rumah. Dibandingkan jajanan di sekolah, jajanan dari pedagang yang lewat di gang tempat tinggal kami lebih menggoda selera.
Waktu aku kecil, penjual makanan keliling sungguh beragam. Ada penjual dawet Madura, bacang, kue cumcum, dawet nangka, bakpau, onde-onde, es campur, es tung-tung, mie pangsit, tahu campur, tahu lontong, sate ayam, kacang rebus dan gula kacang, gethuk lindri, jamu beras kencur, es limun, susu KUD, roti bakeri, es krim, bakso, pecel, angsle, ronde, nasi goreng, juga es puter. Banyak kan?!
Yang paling banyak penjaja nya adalah es tung-tung dan bakso. Es tung-tung dalam sehari bisa ada tiga penjual. Sedangkan bakso dulu rasanya begitu banyak, ada yang dipikul, ada juga yang menggunakan gerobak. Semua rasanya enak. Yang paling mantap adalah bakso urat dan bakso yang juga menyajikan jerohan.
Wah dulu masa kecil benar-benar banyak godaan. Tapi ketika aku mulai duduk di bangku SMA, penjual makanan berkurang secara drastis. Paling-paling tinggal sate, bakso, es tung-tung, mie pangsit, dan tahu campur. Aku tak tahu apakah penurunan jumlah pedagang tersebut karena daya beli masyarakat yang menurun. Kini penjual keliling makin sepi di rumah orang tua Malang makin sepi, apalagi pada jam tertentu jalan-jalan ditutup.
Hal yang sama juga dengan pedagang lainnya dan penjaja jasa. Jasa perbaiki panci, payung sudah tak ada. Pedagang sayuran yang akrab dipanggil mlijo juga tinggal satu. Padahal dulu ada lebih dari tiga mlijo yang sering dipanggil ibu.
Serupa dengan kondisi di Malang, pedagang keliling di tempat tinggalku di bilangan Jakarta Timur juga tak seramai dulu lagi. Dulu untuk makanan cukup banyak penjualnya, dari bubur ayam, ayam berbumbu siap goreng, bakso, sate ayam, nasi goreng, gorengan, dawet ijo, jamu, dan roti. Tapi kini nasi goreng, dawet, dan penjual jamu gendongan keliling tak pernah lagi lewat.
Karena Pandemi atau Karena Teknologi?
Alasan jumlah pedagang keliling berkurang bisa jadi dikarenakan pandemi. Selama pandemi, masyarakat lebih banyak berdiam di rumah. Tak sedikit juga kompleks yang melakukan karantina mandiri dan membatasi diri dari warga luar.
Di tempatku, baru dua minggu terakhir ini terbuka untuk pedagang keliling. Sudah lebih dari dua tahun mereka dilarang berjualan di dalam kompleks perumahan. Padahal ada beberapa pedagang yang sudah punya banyak pelanggan di tempat kami.
Aku kehilangan penjual sayur  langgananku. Penjual kue rangi, dawet ijo, dan nasi goreng juga sudah tak muncul. Kata satpam, penjual nasi goreng akhirnya pulang kampung karena dagangannya sepi. Penjual sate hanya tinggal satu, padahal dulu bisa ada lebih dari tiga penjual.Â
Meski sudah mulai kembali berjualan di tempat kami, namun respon warga masih belum positif. Kuperhatikan dagangan mereka tak banyak pembelinya. Pembeli tahu keliling hanya beberapa, padahal tahu buatan sendiri itu enak sekali dan tanpa pengawet, meski agak mahal.
Aku menduga aplikasi belanja juga bisa menjadi salah satu penyebab pedagang keliling jadi sepi peminat. Adanya promo makanan, tampilan makanan yang menarik, dan makanan yang trendi membuat makanan dari pedagang keliling terasa kurang menarik. Demikian juga dengan penjual sayuran keliling.
Padahal untuk ikan segar, harganya jauh lebih murah apabila belanja di pedagang sayuran keliling, termasuk bumbu, sayuran, tempe, buah-buahan, telur, dan tahu. Mungkin hanya ayam yang harganya tak jauh berbeda.
Memang sih belanja dengan aplikasi ada kalanya lebih seru. Dapat promo dan juga bisa dapat poin. Tapi sesekali belanjalah ke pedagang keliling. Harga makanan mereka tak mahal dan mereka telah bekerja keras berkeliling demi mendapatkan uang bagi keluarga mereka.
Seperti sate ayam. Satu porsinya Rp 14 ribu dan lontong nya Rp 2 ribu per buah. Rasanya enak karena ada banyak taburan bawang merah goreng di atas sate ayam. Lalu kita bisa minta satenya dibakar agak kering atau normal.
Ada juga bakso cuanki yang menggunakan tapioka. Bakso ini biasa disajikan dengan tauge atau sawi hijau. Rasanya segar dan pedas.
Sekoteng juga tak kalah sedap. Kuahnya yang menggunakan jahe merah bisa jadi penghangat tenggorokan. Di dalamnya ada roti tawar, kacang goreng, kacang hijau, dan pacar cina. Hangat, manis, dan sedap. Harganya seporsinya Rp 8 ribu, bisa disantap dua orang karena porsinya besar.
Memang teknologi mendekatkan yang jauh, tapi ada kalanya yang dekat dengan kita malah terlupakan. Pedagang keliling adalah mereka yang ulet, kualitas makanan mereka sebenarnya tak kalah dengan makanan yang tampil di aplikasi pemesanan makanan. Malah bisa jadi lebih murah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H