Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Kabar Pedagang Keliling

23 Juni 2022   20:06 Diperbarui: 23 Juni 2022   20:07 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sate pedagang keliling juga cakep penampilannya (dokpri)

Pedagang keliling adalah salah satu fenomena yang menarik di Indonesia. Aku tak tahu apakah pedagang keliling di negara lain masih ada. Menurutku kehadiran pedagang keliling sangat membantu, namun sayangnya dengan perkembangan teknologi seperti aplikasi belanja, kehadiran mereka mulai tersisihkan, terutama kaum muda.

Dulu waktu kecil, aku suka menyisihkan uang saku untuk jajan di rumah. Dibandingkan jajanan di sekolah, jajanan dari pedagang yang lewat di gang tempat tinggal kami lebih menggoda selera.

Waktu aku kecil, penjual makanan keliling sungguh beragam. Ada penjual dawet Madura, bacang, kue cumcum, dawet nangka, bakpau, onde-onde, es campur, es tung-tung, mie pangsit, tahu campur, tahu lontong, sate ayam, kacang rebus dan gula kacang, gethuk lindri, jamu beras kencur, es limun, susu KUD, roti bakeri, es krim, bakso, pecel, angsle, ronde, nasi goreng, juga es puter. Banyak kan?!

Yang paling banyak penjaja nya adalah es tung-tung dan bakso. Es tung-tung dalam sehari bisa ada tiga penjual. Sedangkan bakso dulu rasanya begitu banyak, ada yang dipikul, ada juga yang menggunakan gerobak. Semua rasanya enak. Yang paling mantap adalah bakso urat dan bakso yang juga menyajikan jerohan.

Wah dulu masa kecil benar-benar banyak godaan. Tapi ketika aku mulai duduk di bangku SMA, penjual makanan berkurang secara drastis. Paling-paling tinggal sate, bakso, es tung-tung, mie pangsit, dan tahu campur. Aku tak tahu apakah penurunan jumlah pedagang tersebut karena daya beli masyarakat yang menurun. Kini penjual keliling makin sepi di rumah orang tua Malang makin sepi, apalagi pada jam tertentu jalan-jalan ditutup.

Hal yang sama juga dengan pedagang lainnya dan penjaja jasa. Jasa perbaiki panci, payung sudah tak ada. Pedagang sayuran yang akrab dipanggil mlijo juga tinggal satu. Padahal dulu ada lebih dari tiga mlijo yang sering dipanggil ibu.

Serupa dengan kondisi di Malang, pedagang keliling di tempat tinggalku di bilangan Jakarta Timur juga tak seramai dulu lagi. Dulu untuk makanan cukup banyak penjualnya, dari bubur ayam, ayam berbumbu siap goreng, bakso, sate ayam, nasi goreng, gorengan, dawet ijo, jamu, dan roti. Tapi kini nasi goreng, dawet, dan penjual jamu gendongan keliling tak pernah lagi lewat.

Karena Pandemi atau Karena Teknologi?
Alasan jumlah pedagang keliling berkurang bisa jadi dikarenakan pandemi. Selama pandemi, masyarakat lebih banyak berdiam di rumah. Tak sedikit juga kompleks yang melakukan karantina mandiri dan membatasi diri dari warga luar.

Di tempatku, baru dua minggu terakhir ini terbuka untuk pedagang keliling. Sudah lebih dari dua tahun mereka dilarang berjualan di dalam kompleks perumahan. Padahal ada beberapa pedagang yang sudah punya banyak pelanggan di tempat kami.

Aku kehilangan penjual sayur  langgananku. Penjual kue rangi, dawet ijo, dan nasi goreng juga sudah tak muncul. Kata satpam, penjual nasi goreng akhirnya pulang kampung karena dagangannya sepi. Penjual sate hanya tinggal satu, padahal dulu bisa ada lebih dari tiga penjual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun