Hujan baru saja berhenti menyiram kawasan Sentul dan sekitarnya. Sisa aktivitasnya masih terjejak di tanah yang basah, seraya mengeluarkan aroma yang khas. Aroma hujan yang menenangkan. Ah rasanya aku ingin sesuatu yang hangat.
Hujan yang rajin menyapa saat sore belakangan ini menghapus hawa panas seharian. Ramadan jadi terasa lebih ringan ketika hawa terasa nyaman.
Aku baru menyantap nasi goreng saat berbuka puasa. Namun aku masih ingin sesuatu, sesuatu yang ringan dan hangat.
Tengok-tengok beragam makanan dan minuman, akhirnya perhatianku teralihkan oleh stan minuman hangat. Hawa yang sejuk, rasanya pas apabila berkawan dengan sesuatu yang hangat di tenggorokan.
Rupanya itu adalah stan bandrek dengan isian. Biasanya bandrek disajikan sederhana dengan ramuan dasar jahe dan gula merah. Ada kalanya ditambahkan rempah-rempah lainnya.
Ada kalanya aku sering tertukar dengan bajigur. Rupanya yang membedakan antara bajigur dan bandrek adalah kuahnya. Bajigur dan bandrek sama-sama menggunakan gula merah dan jahe, namun dalam bajigur terdapat santan. Seperti kuah kolak tapi biasanya diberi jahe merah.
Di bandrek isian ini kulihat ada potongan roti  tawar dan kacang tanah. Lagi-lagi aku jadi membandingkan. Kali ini antara bandrek isian ini dengan minuman sekoteng. Bukankah di sekoteng juga umumnya diberikan kacang tanah. Ehm memang mirip-mirip sepertinya.
Kucari tempat duduk yang menghadap kolam renang. Hawa malam yang sejuk membuatku betah di luar, apalagi ditemani bandrek yang hangat.
Kusuap sesendok bandrek dengan roti tawar. Roti itu terasa licin meluncur disertai dorongan kuah yang manis dan hangat. Sedap.
Aku tak tahu alasan kacang tanah muncul di beberapa jenis minuman hangat, seperti minuman ini, sekoteng, cemoe, dan lainnya. Dari segi tekstur dan rasanya nampaknya kontras dengan isian lainnya. Namun, inilah uniknya.