Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lebih Dekat dengan Pure Saturday Lewat Buku Biografinya

5 April 2022   21:59 Diperbarui: 5 April 2022   22:29 2242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan panjang
Semakin lapang
Hanya dahan kering yang  terpanggang
Tak ada teman
Telah terpencar
Namun waktu terus berputar...


Tembang berjudul "Kosong" ini dulu sering diputar di MTV dan radio. Siapa nyana lagu yang albumnya masuk 150 album Indonesia terbaik versi Rolling Stone Indonesia ini dibuat dadakan selama beberapa hari untuk memanfaatkan sisa durasi pita, yang saat itu sangat mahal. Cerita intim tentang band indie asal Bandung ini tersaji dalam buku biografinya "Pure Saturday: Based on a True Story.

Aku mengenal band satu ini karena majalah Hai kerap mempromosikan mereka sebagai salah satu pelopor band indie di Indonesia. Awalnya ada yang menggolongkan ke musik Britpop dan genre alternatif yang pada tahun-tahun tersebut begitu populer, mungkin seperti gelombang KPop saat ini.

Tapi jika diperdengarkan, tembang "Kosong" ini memiliki nuansa grunge ala Seattle dengan adanya distorsi gitar. Gaya bernyanyi vokalisnya di lagu ini mengingatkanku pada band-band Inggris seperti Blur.

Lagu ini satu-satunya tembang milik Pure Saturday yang masih sering kuperdengarkan hingga saat ini, meski tembang-tembang lainnya dalam album perdananya juga tak kalah menarik.


Mendengarkan lagu "Kosong" seperti memutar kembali waktu, era genre musik alternatif dan Britpop yang menyerbu dunia musik, termasuk di Indonesia. Pure Saturday sendiri nampaknya lebih suka disebut band indie, dengan gaya bermusik mereka yang bebas, tak ingin begitu dikotak-kotakkan, juga metode pemasaran album mereka yang saat itu lebih banyak dikelola sendiri. Mereka juga tidak di bawah label rekaman besar.

Ketika menemukan buku ini di rak buku Gramedia daring, aku langsung tertarik. Buku ini ditulis oleh Idhar Resmadi dan dirilis tahun 2019 oleh Kepustakaan Populer Gramedia, untuk memperingati 25 tahun Pure Saturday eksis di kancah musik Indonesia.

Ada sembilan bab di sini  diawali dengan pembentukan band yang bermula di Gedung Cokelat. Gedung ini merupakan markas dan tempat nongkrong mereka, gudang kosong ini bekas pabrik gitar, hanya bertutup seng. Disebut Gudang Cokelat karena di tempat ini banyak debu dari serutan kayu. Selama satu dekade mereka berlatih dan bermain musik di gudang yang disulap menjadi semacam studio ini.

Sebelum bernama Pure Saturday, band mereka bernama Tambal Band. Personelnya ada Suar Nasution (gitar, vokal)  Arief Hamdani (gitar), Nova (bas), Yudhistira 'Udhi' Ardinugraha (drum), dan Adhitya 'Adhi' Ardinugraha (gitar). Mereka banyak terpengaruh band seperti The Cure, Marillion,The Police, Ride, Oasis, Blur, Pearl Jam, Weezer, dan The Smiths.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun