Sekitar pukul 09.30 WIB, baru acara dibuka secara resmi, diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan sambutan dari Kapokja Layanan Pengunjung dan Program Publik Vetri Ridha Bhineka.
Kami kemudian diajak tur museum oleh pemandu bernama Deyan M. Aji. Mas Deyan menjelaskan koleksi museum yang begitu banyak, dari kontribusi informasi dalam rangka membantu perjuangan, peralatan jaman dulu untuk menyampaikan informasi, sejarah pers, TVRI, RRI, hingga sejarah perfilman.
Tentang koleksi Museum Penerangan secara lengkap akan kuceritakan suatu kali. Yang ikonik adalah koleksi boneka si Unyil, kemudian ada mesin cetak yang sangat berat dan besar, juga sudut yang khusus membahas bapak perfilman nasional yakni Usmar Ismail.
Kemudian usai berkeliling kami pun nobar film Indonesia pertama berjudul "Darah dan Doa". Film ini salah satu di antara tiga film karya Usmar Ismail yang sudah direstorasi.
Ceritanya mengisahkan long march Siliwangi setelah peristiwa PKI Madiun, Â perjanjian Renville, dan disusul dengan Agresi Militer Belanda II. Long march berbulan-bulan ini melelahkan. Tak sedikit prajurit yang membawa keluarganya, melalui hutan, sungai, dan ada kalanya berpapasan dengan pihak NICA.
Yang membuat nelangsa di film ini dikisahkan pertempuran melawan bangsa sendiri, pemberontakan PKI dan DI/TII. Para prajurit di sini nampak 'kurang tega' melawan pemberontak yang masih satu bangsa.
Cerita filmnya mungkin kupaparkan sendiri nanti. Filmnya mungkin tak seheroik film perjuangan pada umumnya. Tokoh utamanya juga digambarkan abu-abu.
Selesai nobar dan makan siang, kami memulai sesi diskusi. Sesi pertama adalah paparan dari salah satu admin KOMiK yakni Achmad Humaidy. Ia menyampaikan isi dari buku yang dirilis KOMiK dengan dimoderatori Wildan dari Muspen.