Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Asyiknya Jadi Anak Teater

26 Maret 2022   23:58 Diperbarui: 27 Maret 2022   13:20 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku baru tahu jika tanggal 27 Maret ditetapkan sebagai Hari Teater Sedunia. Menurutku dunia teater itu sungguh menyenangkan, baik sebagai penikmat pertunjukannya, maupun ketika terlibat di dalamnya sebagai kru dan pemain.

Perkenalanku dengan dunia teater diawali ketika masih bocah. Ayah pernah mengajak kami menyaksikan pertunjukan drama musikal. 

Menurutku itu sangat menyenangkan melihat para pemain menyanyi, menari, sambil berakting. Aku sendiri lupa ceritanya, tapi sungguh berkesan.

Kemudian ada manga berjudul "Topeng Kaca" yang hits pada masa itu. Ia bercerita anak perempuan bernama Maya yang hanya mencintai seni akting dan seni panggung. Di kehidupan sehari-hari ia adalah anak biasa, tidak cantik juga tidak pintar. Tapi ketika di atas panggung, pesonanya memabukkan.

Baru ketika SMA, aku bergabung dengan ekskul Teater. Selama tiga tahun aku mendapatkan pengalaman yang membekas.

Bagaimana tidak seru, ketika kami baru masuk sebagai anggota baru kami melakukan berbagai latihan di tempat umum. Biasanya kami latihan di depan sekolah, di Alun-alun  Bunder Kota Malang. Kami melakukan meditasi di sana, lalu latihan keliling alun-alun sambil berteriak mengucapkan huruf vokal.

Meditasi penting agar kami fokus berlatih, tidak lagi memikirkan beban sekolah untuk sementara waktu. Saat mau pentas, meditasi membuat kami tenang dan membantu masuk ke karakter yang kami perankan. 

Adalah penting juga buat pemain teater untuk bisa bersuara keras dan jelas artikulasinya. Kami biasa tampil tanpa bantuan mic. Harapannya penonton paling belakang bisa tetap mendengar kami dengan jelas.

Berikutnya adalah latihan gerak teatrikal agar kami luwes bergerak di panggung. Kami juga belajar tentang pergerakan di panggung seperti blocking dan cara improvisasi di panggung.

Masa latihan sebagai anggota baru itu melelahkan juga menyenangkan. Di awal-awal kami sempat malu karena latihan di tempat umum. Kadang-kadang ada saja yang menyaksikan kami latihan.

Waktu itu Alun-alun Balai Kota Malang masih terbuka. Kami masih bisa duduk-duduk di rerumputan. Nah meditasi di rerumputan itu ternyata nggak enak sama sekali. Banyak serangga, gatal dan juga digigit semut atau nyamuk. 

Saat meditasi kami dilarang untuk banyak bergerak. Biasanya prosesnya 10-15 menit. Ada kalanya kakiku kesemutan atau bentol-bentol digigit nyamuk.

Kami kemudian menjalani upacara kelulusan di  sebuah air terjun di Malang. Kami menginap, melakukan latihan di alam, kami berakting seolah-olah alam adalah panggung kami. Yang menarik sambil susur sungai, kami juga sekalian mengumpulkan sampah. Di akhir acara, wajah kami dibedaki dengan sesuatu berwarna putih yang terasa panas di wajah.

Nah saat acara tersebut aku tak membawa apa-apa di tas. Isi tasku hanya selimut tebal karena hawanya begitu dingin hahaha. Alhasil aku bisa tidur pulas selama di tenda.

Setiap Sabtu sore kami latihan. Biasanya diawali dengan meditasi, lari, gerak teatrikal, dan belajar hal-hal baru. Jika akan pentas maka kami berlatih tiap hari usai sekolah

Saat-saat itu membagi waktu antara pelajaran dan berlatih teater cukup berat, tapi untungnya nilaiku masih cukup baik sehingga orangtua tidak mengomeliku karena memilih ekskul teater, bukan ekskul bahasa atau KIR.

Ada banyak pementasan yang berkesan. Pentas pertama adalah semacam kabaret dengan cerita horor tentang leak. Modelnya kolosal. Kami anak baru jadi warga desa yang selalu muncul. Kami melakukan rekaman suara dulu, baru kemudian menghafal dialog dan menyesuaikannya dengan kaset yang diputar. 

Waktu kami muncul dan berdialog harus pas timing-nya dengan yang ada di kaset. Kami berlatih hampir satu bukan karena ada berbagai koreografi dan pengaturan pergerakan. Ini sungguh mengasyikkan.

Pentas kedua tentang kisah Menak Jingga dan Kencana Wungu. Ini memiliki unsur komedi. Aku menjadi salah satu istri Kencana Wungu yang kemayu. Meski hanya peran pendukung, aku senang sekali. Di sini kami melakukan semuanya swadaya, kami juga belajar mengatur lampu panggung.

Oh iya beberapa kali kami mengadakan pementasan mistis. Yang kedua setelah cerita leak yaitu tentang dukun yang hendak menghidupkan istrinya. Kami menggunakan lagu yang terkesan mistis dan tarian Jawa yang terasa membius. 

Sebagai gimmick kami juga membakar kemenyan dan mengatur salah satu dari kami berpura-pura jadi penonton dan seolah-olah kesurupan. Wah ini sungguh tak terduga, ada beberapa penonton lainnya yang menjerit-jerit ketakutan, mengira itu adalah betulan.

Yang ketiga bercerita tentang pembunuhan kepada kekasih yang berselingkuh. Ini semacam monolog. Si pembunuh bercerita tentang kekasihnya hingga ia kemudian memutuskan membunuhnya.

Latarnya hanya tiang-tiang dengan obor-obor. Kami sengaja mematikan lampu. Gelap. Cahaya hanya dari obor. Aku menjadi properti orang mati, kekasih gelap yang dibunuh. Sepanjang pertunjukan aku harus berhati-hati bernafas dan berupaya seperti orang yang telah meninggal.

Yang tak kuduga penutupnya berbeda dengan yang saat latihan. Aku diseret sampai ke belakang panggung. Duh kagetnya.

Sampai di rumah, aku terkejut karena ada tetanggaku yang meninggal karena bunuh diri. Entah kenapa aku kemudian merasa seram sendiri.

Ada beberapa lagi pertunjukan yang kami adakan. Kami memang lebih suka menampilkan drama horor atau komedi, ketika kami fokus membuat drama yang serius, ternyata lebih susah.

Selama tiga tahun menjadi anak teater, aku menyadari betapa besar pengaruh ekskul ini kepadaku. Ketika aku takut atau demam panggung, aku berupaya berpura-pura, aku akan melakukan pementasan.

Aku juga jadi gemar nonton teater. Dulu aku sering sekali nonton di Galeri Surabaya, Cak Durasim, dan di Taman Ismail Marzuki. Lebih sering nonton sendirian karena tak banyak kawan yang merupakan penggemar teater.

Dulu aku cukup akrab dengan sutradara teater mas Aji atau Ags. Arya Dipayana (alm). Berawal dari meliput pegelaran Teater Tetas-nya di Surabaya, kemudian aku sering diundang ketika ia pentas di Jakarta. Ia punya ciri khas, sering memasukkan gerakan teatrikal dan beberapa kali berkolaborasi dengan suami istri Deddy dan Elly Luthan.

Menonton pertunjukan teater itu memiliki sensasi berbeda dengan ketika menyaksikan film. Kita merasa lebih dekat, lebih memahami dinamika emosi pemain, juga ada kalanya kagum dengan setting, kostum, dan make up yang detail. Adakalanya magnet hanya di pemain semuanya serba minimalis.

Wah jadi ingin nonton teater. Selamat Hari Teater Sedunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun