Film "Penyalin Cahaya" alias "Photocopier" kembali undang perhatian. Setelah berhasil memberi kejutan dengan 12 piala FFI, beberapa hari sebelum filmnya tayang di Netflix, terhembus kabar kurang sedap, salah satu penulis naskahnya ternyata pernah dilaporkan melakukan kekerasan seksual (KS). Namun kabar ini tak mengurangi animo pecinta film untuk menyaksikan film yang berhasil mencetak rekor perolehan piala Citra ini.
Wregas Bhanuteja sebagai sutradara dan rekan penulis naskah film kemudian segera mengambil langkah tegas. Terlapor KS ini kemudian tak lagi dimasukkan dalam kredit film.
Masih banyak netizen tak puas dengan respon tersebut, malah ada yang berharap piala FFI minimal kategori penulis skenario terbaik dikembalikan. Namun setidaknya langkah Wregas tersebut sedikitnya meredam rasa kecewa netizen karena merasa film ini jadi tercemar oleh ulah salah satu kru film.
Apakah tidak kontradiktif dan melahirkan sebuah ironi apabila film yang mengusung pesan anti KS, naskahnya malah ditulis oleh seseorang yang pernah jadi terlapor KS?
Entahlah. Kalau menurutku film adalah hasil kerja sama sebuah tim. Para sineas film lainnya sepertinya tak tahu latar belakang si penulis naskah. Urusan hukum sepertinya perlu dipisahkan dari karya film. Biarkan si terlapor diproses secara hukum bila memang terbukti sebagai pelaku.Â
Dan apabila dibandingkan dengan "Ekskul" (Catatan Akhir Sekolah) yang piala Citra sebagai film terbaik dibatalkan oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional rasanya kurang pas. Oleh karena film tersebut memiliki isu pelanggaran hak cipta.
Ya, aku termasuk yang antusias dengan film panjang debut Wregas. Setelah beberapa kali berhasil raih prestasi dengan beberapa film pendeknya, Wregas kemudian melebarkan sayapnya dengan membesut film panjang.
Ceritanya Tentang Apa?
Tokoh utamanya adalah Suryani (Shenina Cinnamon). Penerima beasiswa ini sukarela membantu membuat dan mengelola website Teater Mata Hari. Ia berharap kegiatannya tersebut mendapat poin tersendiri di mata para  pengawas beasiswa. Apalagi teater mereka menang dan akan berlaga di tingkat internasional di Jepang.
Ketika para anggota teater merayakan kemenangan mereka dengan berpesta di rumah Rama (Giulio Parengkuan), ia pun turut serta. Ia mengajak sahabatnya, Amin (Chicco Kurniawan) yang sehari-hari bekerja di tempat fotokopi.
Namun Suryani melanggar janji ke ayahnya. Ia menenggak minuman keras hukuman dari sebuah permainan. Lalu ia ikut menari dan tak sadarkan diri. Bangun-bangun ia sudah ada di rumahnya.
Kabar buruk tak lama diterimanya. Beasiswanya dicabut karena ia mengunggah foto-fotonya tengah mabuk di medsos. Ayahnya pun juga kemudian mengusirnya.
Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada malam tersebut, Suryani pun kemudian mengumpulkan kepingan dari gambar-gambar yang diunggah atau dimiliki anggota teater lainnya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Film yang Memiliki Pesan Bernas
Tema kehilangan memori jangka pendek dan kemudian mengumpulkan kepingan bukti dan jejak lewat gambar sebenarnya bukan hal yang baru di film mancanegara. Ada banyak tema-tema film seperti itu. Salah satunya adalah film drama remaja berjudul "Confessions of an Invisible Girl" yang mengumpulkan bukti untuk membersihkan namanya dari mengumpulkan gambar dan video yang diunggah di medsos, lalu menganalisanya.
Namun tetap saja film "Penyalin Cahaya" menarik karena tema-tema film seperti ini masih jarang di film Indonesia, selain itu, film ini bukan hanya tentang menyibak kasus, namun film ini juga memiliki pesan dan sejumlah hal lainnya yang menarik.
Pesan anti KS digunakan dalam film ini kuat. Menariknya saat film ini diumumkan sebagai peraih film terbaik, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim baru saja menandatangani Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Selain memiliki pesan anti KS, film ini banyak memberikan sindiran terhadap hal-hal yang ada di negeri ini. Misalnya tentang pentingnya perlindungan terhadap data pribadi, pihak kampus yang seolah-olah lepas tangan ketika mahasiswa-mahasiswinya mengalami kasus KS, dan pelapor KS yang entah bagaimana kasusnya kemudian dimanipulasi sehingga ia kemudian bungkam atau malah dipermalukan.
Wregas juga membubuhkan pesan-pesan simbolik dalam tokoh Medusa dan Perseus. Dalam kisah dongeng, mata Medusa membuat mereka yang melihatnya menjadi batu, tak bisa bergerak. Perseus memiliki misi membunuh Medusa, salah satu gorgon, yang fana.
Suryani yang telah mendapat tatapan Medusa lewat permainan diibaratkan sudah tak bisa lagi berbuat apa-apa karena ia sudah kena kutukan Medusa.
Simbol dan pesan lainnya juga tersaji dalam tone warna. Warna hijau ini hadir dalam baju yang dikenakan grup teater, kebaya dan dinding tempat tidur milik Suryani, kelap-kelip lampu disko dan masih banyak lagi. Hijau memiliki banyak makna. Ia bisa berarti sebuah kepolosan, pendewasaan, dan pembaruan.
Dari segi visual, gradasi dan pengambilan gambarnya nyaman di mata. Adegan pembuka yakni ketika teater Mata Hari berpentas dan melakukan adegan teatrikal itu menarik. Penutup ceritanya juga menarik, terasa mengalir apa adanya.
Dari segi tempo dan dinamika, Wregas menjaga tempo bercerita dengan hati-hati. Ia tak ingin membuka tabir dengan cepat atau terlalu lamban. Tempo diaturnya agar penonton tetap merasa penasaran, dengan sesekali petunjuk diberikan.
Jajaran pemainnya juga memberikan penampilan yang apik. Akting Shenina semakin matang. Sebelumnya ia tampil di "Di Bawah Umur" Â dan "Ratu Ilmu Hitam". Pemeran lainnya seperti Chicco Kurniawan, Jerome Kurnia, dan Lutesha juga makin luwes berakting. Dea Panendra sebagai Anggun, sutradara teater, juga masih pantas jadi anak mahasiswa. Oh iya juga ada penampilan dari Lukman Sardi, Ruth Marini, Rokman Rusadi, Donny Damara, Yayan Ruhian, Tanta Ginting, dan Adipati Dolken.
Namun apresiasi tertinggi bagiku untuk film yang diproduksi Rekata Studio dan Kaninga Pictures ini adalah ide ceritanya, mesin fotokopi. Tak kusangka mesin fotokopi bisa dijalin menjadi sebuah cerita yang menarik.
Film ini mulai tayang di Netflix 13 Januari 2022. Durasinya berkisar dua jam 10 menit. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H