Belakangan ini, apalagi usai menyaksikan "The Matrix: Ressurections", aku kembali sering memutar tembang soundtrack film "The Matrix" lawas.  Spybreak!", judulnya. Lagu bergenre elektronik ini dipopulerkan oleh Propellerheads, duo musisi asal Inggris. Lagu ini membuat nostalgia pada era tahun 1999, 22 tahun silam, ketika dunia sedang antuasias menyambut tahun 2000 yang disebut era digital. Situasinya seperti saat ini, ketika masyarakat global mulai euforia menyambut gagasan metaverse.
Tahun 2021 itu warna-warni. Sekitar tiga kuartal, di sana sini diwarnai oleh situasi pandemi. Sekitar bulan Mei hingga Agustus kabar duka silih berganti dari rekan kerja, tetangga, dan kawan-kawan yang tertular Covid-19 hingga ada yang tak tertolong. Situasi saat itu menguatirkan, hingga bepergian ke jarak dekat pun rasanya was-was.
Namun pada kuartal terakhir 2021 situasi mulai membaik, meski masih ada ancaman varian Omicron. Ada begitu banyak gagasan menarik sepanjang 2021 yang mulai ramai dibahas. Termasuk gagasan dunia digital yang bak dunia nyata alias metaverse. Warganet pun menyambut hangat metaverse yang diinisiasi oleh pendiri Facebook Mark Zuckerberg.Â
Ketika situasi masih tak bersahabat karena pandemi yang tengah marak, aku sering memutar tembang cadas dengan bumbu electronic dance music (EDM) dari band rock asal Inggris, Bring Me the Horizon (BMTH). Judulnya adalah "Parasite Eve". Lagu yang dirilis tahun 2020 ini lirik dan nuansanya sangat cocok didengar pada masa pandemi. Videonya juga menarik.Â
Dibuka dengan musik opera dari Bulgaria, "Erghen Diado". Oliver Sykes, vokalis BMTH kemudian bercerita dalam bentuk lirik lagu.
I've got a fever, don't breathe on me
I'm a believer in nobody
Won't let me leave 'cause I've seen something
Hope I don't sneeze, I don't
Liriknya memiliki referensi situasi Covid-19, di mana kita was-was apabila ada seseorang yang tengah bersin di sekitar kita.
Bagian berikutnya diisi oleh suara manusia android, memberikan kesan adanya peringatan dan ancaman.
Please, remain calm, the end has arrived
We cannot save you, enjoy the ride
This is the moment you've been waiting for
Don't call it a warning, this is a war
Bagian larik "We cannot save you..." ini terasa sinis. Apalagi ketika larik ini diulang-ulang di bagian akhir lagu. Kondisi wabah dan kekacauan yang termuat dalam lagu ini seperti yang terjadi di dunia nyata saat Covid-19 berada di puncak kasus. Menguatirkan.
Lagu ini juga memuat referensi tentang teori-teori konspirasi yang beredar. Misalnya tentang jaringan 5G yang memicu virus cepat tersebar dan adanya microchip dalam vaksin. BTMH menyindir teori konspirasi tersebut dalam liriknya. Â
I heard they need better signal
Put chip and pins in the needlesÂ
"Parasite Eve" enak didengar. Lagu ini unik, ada unsur drop dan permainan tempo ala EDM, diiringi dengan scream ala Oliver.
Tembang ini sendiri terinspirasi oleh sebuah permainan game yang diproduksi Square Enix, namanya "Parasite Eve" .Game bertemakan survival horror ini mirip-mirip dengan "Resident Evil". Ada sebuah kekacauan karena musibah yang dialami umat manusia. Ada semacam wabah yang ditularkan seseorang yang menyebut dirinya Eve. Wabah itu menakutkan, cepat merengut nyawa manusia.
Lagu "Parasite Eve" masuk dalam album berjudul "Post Human: Survival Horror". Album yang cocok dengan kondisi saat ini, ketika dunia sedang dilanda wabah, di satu sisi manusia mulai banyak terkoneksi dengan teknologi. Post human sendiri bisa dimaknai kondisi manusia ketika menggabungkan dirinya dengan teknologi. Konsep post human ini sebagian bisa diwujudkan dalam gagasan metaverse, di mana manusia bisa merasai second life, sesuatu yang terasa nyata di dunia digital.
Konsep metaverse sendiri bisa dibayangkan seperti dalam film "Ready Player One". Ya film yang dibesut oleh Steven Spielberg ini merupakan gambaran yang paling mendekati metaverse yang diinisiasi oleh Mark. Kita bisa melarikan diri sejenak dari dunia nyata melalui hiburan dengan konsep virtual reality. Di sana juga ada kehidupan, kita bisa berinteraksi dengan sesama pemain, dan menikmati hiburan dan kehidupan seperti di dunia nyata.
Gagasan metaverse juga ada dalam film "The Matrix", di mana manusia secara tak sadar ternyata berada di dunia simulasi yang dikelola oleh mesin. Dalam dunia nyata ternyata manusia 'dijajah' oleh mesin.
Ehm pesan dari film pertama tersebut, jangan terlalu larut di dunia digital. Perlu ada jeda untuk menikmati dunia nyata. Sedangkan dalam film kedua, manusia jangan sampai dikendalikan oleh mesin.
Ya, konsep metaverse bisa jadi menjanjikan sebagai hiburan. Membayangkan metaverse membuatku teringat akan adegan "The Matrix" yang paling epik. Ketika Neo dan Trinity memasuki markas musuh untuk Morpheus yang disander agen Smith. Adegan ini sangat berkesan, apalagi musiknya. Adegan ketika Neo dan Trinity menembak dan menghindar dari peluru itu epik. Apalagi ketika mereka mengenakan kacamata hitam. Cool!
Lagu "Spybreak!" ini dulu sering kali kuputar. Tembang dengan irama elektronik dan tempo cepat ini membuatku bersemangat. Dulu membuatku bersemangat membayangkan dunia maya yang makin menarik dengan internet yang makin cepat.
Kini sambil memutar lagu ini, aku jadi membayangkan konsep metaverse. Andaikata ada second life di metaverse, aku ingin diajari Neo beraksi, menembak, berlari kencang sambil melompat. Sepertinya seru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H