Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Apakah Kompasiana Baik-baik Saja? (1)

25 Desember 2021   23:30 Diperbarui: 25 Desember 2021   23:33 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angka bounce rate Kompasiana (di tengah) cukup tinggi (sumber: Alexa.com)

 

Usai membaca artikel panjang dari mas Nurulloh (berikut ini), entah kenapa aku kemudian merasa was-was. Aku merasa ada sesuatu yang sedang terjadi di Kompasiana. Apakah Kompasiana baik-baik saja? Kompasiana tidak menuju ke arah pailit kan?!

Mba Muthiah pada tanggal 21 Desember, memberiku pesan dan tautan artikel tersebut. Aku kemudian membacanya tengah malam, sekalian membaca komentar-komentar yang ada di sana. Ada beberapa komentar yang menarik perhatianku, di antaranya milik mas David mas Yon Bayu, mbak Luna, dan Pak Khun.

Aku kemudian berdiskusi dengan mba Muthiah dan Pak Khun. Juga mengobrol dengan mba Muslifah, ketua Koteka. Surat panjang dari mas Nurulloh yang kuterima lewat e-mail melengkapi tanda tanyaku.

Ini bakal menjadi artikel yang panjang dan bersambung. Mungkin ada bagian-bagian yang bakal menyentil pihak Kompasiana. Tapi ketahuilah ini sebenarnya artikel yang menunjukkan wujud kepedulianku dan mungkin rekan-rekan Kompasianer lainnya terhadap Kompasiana.

Kompasiana telah hadir sejak tahun 2008. Pada masa tersebut memang sudah mulai hadir ekosistem jurnalisme warga dengan konsep user generated content (UGC),. Yang kuingat kali pertama aku mengikutinya blog keroyokan ala jurnalisme warga ini di Suara Warga yang dikelola oleh Suara Merdeka pada awal tahun 2008.

Lalu kemudian selain Kompasiana, muncul juga platform blog jurnalisme warga seperti Blog Detik dan Indonesiana. Menyusul kemudian ada UCNews, Babeh, Garuda Social Miles, YukMakan, Openrice Indonesia, Adira Face of Indonesia, Retizen, YTP Rayeh, YPTD, Kumparan, IDN Times, Recome, Medium, Quora, dan masih banyak lagi. Ada yang temanya spesifik seperti tentang kuliner, film, lainnya temanya beragam. Ada yang harus diakses lewat aplikasi mobile, ada juga yang cukup dengan membukanya di laman web.

Seiring perkembangannya, satu-persatu ada yang tumbang. Ada yang bermasalah dengan manajemennya, juga tak sedikit yang tumbang karena soal finansial. Mengelola sebuah platform UGC tetap perlu ada pengelola, misalnya bagian admin teknis juga moderator.

Tentang Kompasiana sendiri, aku baru bergabung April 2010. Waktu itu ada e-mail dari Kompas Group, dan aku iseng-iseng mendaftar. Saat itu aku masih merasa minder untuk menulis di Kompasiana.

Masa itu Kompasiana banyak menampilkan artikel dengan tema yang berani, misalnya kategori agama yang kadang-kadang bahasannya sangat kritis. Kategori tersebut kemudian hari dibredel karena lebih banyak mengundang debat kusir.

Tapi itulah awalnya aku tertarik mengikuti Kompasiana. Ada beberapa penulis yang kritis dalam melukiskan sesuatu. Terutama dalam soal politik dan kritik kebijakan publik.

Buku Kang Pepih masih ada di rak bukuku (dokpri)
Buku Kang Pepih masih ada di rak bukuku (dokpri)

Awal mula Kompasiana sendiri banyak dikisahkan Kang Pepih Nugraha dalam bukunya, "Etalase Warga Biasa". Dalam buku tersebut, ia banyak bercerita tentang perjuangannya mendirikan dan mengembangkan Kompasiana yang dirasanya tidak mudah. Ia dulu berupaya keras membujuk rekan-rekannya sesama wartawan untuk menyumbang tulisan di sini.

Namun lambat laun ia mendapatkan buah dari jerih payahnya. Kompasiana kemudian dikenal sebagai platform jurnalisme warga yang populer dan disegani. Namun sejak tahun 2013, Kompasiana telah berhasil menarik sekitar 200 ribu Kompasianer dan menghasilkan 866.767 tulisan.

Kompasiana itu disebut etalase warga karena menyajikan berbagai tulisan rupa-rupa dari warga. Ia memiliki gaya bahasa yang personal dan lugas. Di sini para Kompasianer sederajat walaupun tidak sedikit penulis dari tokoh-tokoh penting. Aku menemukan tulisan wikipediawan Ivan Lanin, ekonom Faisal Basri, dan mantan Wapres Jusuf Kalla di Kompasiana. Pak Faisal Basri termasuk yang rajin menulis, artikelnya sudah mencapai 414 buah, namun akung ia mulai vakum menulis sejak 16 Agustus 2017.

Hal Menarik di Kompasiana 

Apa sih yang menarik dari Kompasiana saat itu? Artikelnya memiliki tema yang beragam. Para penulisnya juga memiliki latar belakang yang bervariasi, dari yang masih remaja SMA hingga mereka yang telah berpengalaman di bidang tertentu.

Artikel di Kompasiana itu juga jarang didapatkan dari media lainnya. Poin ini patut kugarisbawahi. Artikel Kompasiana itu khas, terkesan lebih serius daripada rata-rata tulisan di platform UGC lainnya.  Bahasannya umumnya detail, sudut pandang dan bahasannya sangat jarang ditemui di tempat lainnya.

Soal politik dan ekonomi, misalnya. Kajian mendalam dari mas Yon Bayu tentang politik dan Pak Isson Khairul tentang ekonomi, bakal susah didapatkan dari media lainnya. Tulisan tentang serba-serbi Turki pun juga bakal jarang didapat di tempat lain kecuali dari mba Muthiah yang memang pernah lama tinggal di sana.

Yang ringan pun juga sama. Tulisan tentang kehidupan Pak Tjip dan Bu Tjip sejak jaman susah hingga mapan pun itu sesuatu yang menarik. Demikian juga dengan artikel musik dari mbak Ika Septi atau perjalanan keliling masjid ke masjid di berbagai negara ala Pak Taufik Uieks. Itu sesuatu yang unik.

Itulah Kompasiana. Ia memiliki ciri khas, sesuatu yang mungkin tak dimiliki media online dan platform UGC lainnya. Temanya beragam, personal, dan tiap penulis punya ciri khas. Kompasiana ibarat pemimpin dan penentu tren di ceruk ini. Tak sedikit artikel yang kemudian menjadi rujukan media dan penelitian.

Lainnya yang unik dari Kompasiana adalah budaya nangkring dan komunitasnya. Inilah wadah yang membuatku akrab dengan mas Rahab, mbak Indah, mbak Muthiah, Windhu, Nisa, Pak Sutiono, Pak Agung, mba Yayat, Andri, Reno, dan Kompasianer lainnya.

Acara nangkring dan nobar bareng Kompasianer itu yang bikin kangen (dok. KOMiK)
Acara nangkring dan nobar bareng Kompasianer itu yang bikin kangen (dok. KOMiK)

Kompasianer itu guyub. Rata-rata mudah akrab dan terbuka kepada orang baru. Admin sejak jaman dulu kala seperti mas Kevin, mas Nurul, mba Winda, mas Kamil, Dimas, dan Nindy juga tak susah didekati saat acara nangkring.

Komunitas Kompasiana juga unik. Rata-rata anggota yang suka ngumpul ya itu-itu saja. Andri, misalnya. Ya rajin ikut makan-makan di Kapeka, ya juga kerap gabung nobar KOMiK. Itulah yang membuat Kompasianer itu dekat dan akrab. Oleh karenanya jika ada anggota baru, kami sebenarnya senang. Ya biar orangnya tidak itu-itu saja hahaha.

Mengikuti Arus

Namun entah sejak tahun berapa, ada kecenderungan Kompasiana mengikuti arus. Seingatku mulai tahun 2017. Saat itu ada Kompasianer yang berkata kok headline Kompasiana kebanyakan diisi gaya hidup dengan topik dan bahasa yang mirip dengan sebelah.

Saat itu media online seperti Brilio, Kumparan, dan IDN Times memang mulai tumbuh. Kehadiran mereka dengan bahasa dan tema anak muda, banyak disukai kalangan milenial juga gen Z. Kalangan milenial rata-rata merupakan usia bekerja, mereka lahir pada tahun 1981-1994/6. Generasi Z ini rata-rata masih sekolah, kuliah, dan baru bekerja, mereka lahir di kisaran tahun 1995/7 hingga 2009

Memang tidak ada yang salah dengan mengikuti arus. Apalagi jika menyimak artikel mas Nurul dan mba Widha berikut ini dan itu.

Berdasarkan artikel tersebut, demografi pembaca Kompasiana sekarang adalah usia 18-24 tahun yang terbanyak (36%). Berbeda dengan sebelumnya di mana yang terbanyak di kisaran 25-34 tahun. Kini rentang usia 25-34 tahun berada di nomor kedua (26%), disusul usia 35-44 tahun (18%).  

Para Kompasianer yang baru juga rata-rata berusia muda. Jika melihat dari kaleidoskop angka pengguna baru mencapai 1.661.689. Ini memang angka yang besar. Oleh karena jika melihat dari grafik yang dibagikan mbak Widha, anggota baru pada tahun 2020 hanya sekitar 325ribu. Saat ini Kompasianer telah berjumlah 2.469.865.

Grafik pertumbuhan konten dan Kompasianer baru (dok. Kompasiana)
Grafik pertumbuhan konten dan Kompasianer baru (dok. Kompasiana)

Dari data demografi pembaca dan penulis baru Kompasiana yang masih muda tersebut kemudian mas Nurul mengusulkan untuk membuat dua program Kompasiana Hub, yang pertama program content extension, yaitu dengan mengekstensikan ke Kompas Group dan kedua membuat semacam talent pool untuk menjaring talenta Kompasianer muda.

Artikel ini memberikan reaksi beragam. Terutama dari Kompasiner yang usianya 24 tahun ke atas. Apakah dengan ini Kompasianer yang tidak lagi muda akan disisihkan?

Artikel mas Nurul memang di awal tayang berkesan ambigu, kemudian artikel diubah dengan penambahan 'tua muda, setengah tua, setengah matang'). Karena di awal-awal lebih banyak menyebutkan kobtribusi kompasianer yang berusia 18-24 tahun sehingga kesannya program baru ini hanya untuk Kompasianer muda. Meskipun di komentar dan kemudian ditambahkan di artikel, ia menjelaskan semua Kompasianer bisa mengikuti program pertama.

Oke, itu baru pemanasan,  sekarang siapkan seatbelt, kita mulai analisanya. Untuk yang analisa Kompasiana Hub, akan kuulas mendalam di artikel selanjutnya.

Motivasi Menulis di K 

Sudah jadi rahasia umum apabila banyak kompasianer baru bermunculan karena adanya tugas dari sekolah dan yang kedua karena ada imimg-iming K-rewards. Adanya K-rewards ini ibarat dua sisi koin. Di satu sisi menarik minat untuk bergabung dengan Kompasiana dan membuat artikel yang bisa mengundang banyak view. Namun sisi lainnya, hal ini kemudian mengundang beberapa Kompasianer yang kemudian ditengarai menggunakan cara yang sebenarnya kurang etis.

Nah andaikata K-rewards dihapus apakah para Kompasianer yang bermotif K-rewards bakal bertahan. Apakah mereka mau menulis di Kompasiana juga tidak ada K-rewardsnya.

Ya adanya jumlah Kompasianer baru yang melonjak, hingga 1,6 juta, bisa membuat performa pengelola K nampak gemilang. Ini lho datanya ada banyak Kompasianer yang baru, rata-rata pun masih muda. Angka ini hampir 200 persen lho jika melihat data pertumbuhan jumlah Kompasianer yang dibagikan mbak Widha.

Tapi bagaimana jika itu hanya sebuah angka sesaat. Bagaimana bila K-rewards dihapus. Apakah angka tersebut masih riil, atau hanya sebuah angka fiktif. Di sistem nampaknya masih ada 2,4 juta Kompasianer. Tapi riilnya jangan-jangan hanya 10 persennya.

Ok mba Widha membagikan bahwa motivasi menulis di Kompasiana yang ingin meraih K-rewards tinggi hanya 13 persen dengan berbekal teknik optimasi konten. Selintas sedikit, lainnya motivasinya murni menulis.  Tapi di angka 13 persen itu ada kata berbekal kemampuan SEO, lantas berapa jumlah Kompasianer yang fokus mengejar K-rewards tapi tidak punya ilmu SEO?

Selama ini K seolah-olah selalu bangga dengan pencapaian jumlah view dan jumlah Kompasianer baru. Tapi mereka melupakan satu hal yang penting, yakni Kompasianer yang selama ini setia dan kemudian menghilang karena sudah merasa tak nyaman dengan perubahan di K.

Ini seperti ketika kita berjualan, karena diminta terlihat berperforma tinggi, maka kemudian strategi bisnis berubah, fokusnya ke pelanggan baru. Bagaimana pelanggan baru bisa banyak, misalnya dengan iming-iming diskon. Tapi kemudian kita lupa dengan pelanggan loyal, pelanggan yang hadir sejak perusahaan mulai tumbuh. Pelanggan loyal yang hadir sudah lama tersebut lama-kelamaan merasa tersisihkan dan beralih ke kompetitor atau mendirikan usaha sendiri.

Padahal pelanggan lama mau membeli dan setia ke perusahaan tersebut meski tanpa iming-iming diskon dan voucher. Tapi karena tak diperhatikan, lama-kelamaan mereka beralih ke tempat yang dirasanya lebih nyaman.

Statistik Kompasiana 2021 (dok. Kompasiana)
Statistik Kompasiana 2021 (dok. Kompasiana)

Bagaimana jika angka kompasianer lama yang menghilang itu 20 persen dari angka 800 ribu Kompasianer atau sekitar 160 ribu? Seandainya program benefit dihilangkan bisa jadi Kompasiana bakal kehilangan makin banyak jumlah Kompasianer, Kompasianer yang motivasinya K-reward dan Kompasianer lama yang kecewa.

Ok sebelum beranjak ke bahasan lainnya, aku penasaran dengan aktivitas Kompasianer baru. Kenapa? Karena dari data di kaleidoskop, jumlah artikel 'hanya' 241.916 konten.  Jadi jika dibandingkan dengan total 2,4 juta Kompasianer maka hanya 10 persen yang menulis tahun 2021, 90 persen lainnya ke mana?

Dari grafik jumlah konten tahun 2020, jumlahnya tak beda jauh dengan tahun 2021. Tahun 2020 jumlah konten sekitar 230 ribu dan tahun ini sekitar 241 ribu. Jadinya penambahan Kompasianer baru rasanya masih kurang signifikan dampaknya.

Tentang Keterbacaan (View) Artikel

Soal view yang begitu besar disebut mencapai 299.030.786 di kaleidoskop benarkah itu angka riil? Atau karena didongkrak oleh tools tertentu yang konon ditengarai digunakan oleh beberapa Kompasianer.

Jika beberapa kompasianer melambungkan view tiap artikelnya ya memang nampak mencolok sih angkanya bisa sampai jutaan. Tapi nyatanya banyak lho artikel Kompasianer yang hanya di bawah 100 atau malah yang baca hanya di kisaran 20-an. Itu pernah dialami penulis.

Ok dari angka 299 juta sekian tersebut, aku coba bagi dengan jumlah artikel yang tayang yaitu 241.916 maka tiap artikel seyogyanya dapat 1.236 tampilan. Tapi sayangnya angka tersebut memiliki kesenjangan yang besar. Ada yang keterbacaannya sampai puluhan ribu, ada yang hanya di bawah 100, seperti rata-rata milik penulis jika tidak jadi artikel utama atau tidak mengikuti tren topik.

Sebenarnya kenapa artikel tersebut sepi pembaca. Apakah karena artikelnya kurang menarik, kurang disebarkan, atau karena ada masalah dengan platform K-nya sendiri?

Kurang interaksi dengan pembaca, seolah-olah hanya mesin sebar tautan (sumber: twitter.com/kompasiana)
Kurang interaksi dengan pembaca, seolah-olah hanya mesin sebar tautan (sumber: twitter.com/kompasiana)
 
Aku yakin tulisan Kompasianer rata-rata sudah cukup bagus. Kalau untuk urusan artikel disebarkan bukannya Kompasianer punya Twitter yang juga rajin menyebarkan tautan? Namun sayangnya Twitter Kompasiana itu seperti mesin, kebanyakan hanya menyebarkan tautan (walau tidak semua disebarkan), tapi tidak menjalin interaksi. Padahal menjalin interaksi dengan warganet itu juga penting. Pengelola medsos Instagram sudah patut diapresiasi, grafisnya bagus dan mudah dipahami, tinggal diperbaiki interaksinya.

Lantas kenapa kira-kira tidak banyak warganet yang tertarik membaca Kompasiana? Ehm mungkin karena iklannya yang terlalu banyak dan cara membaca Kompasiana yang tak lagi nyaman.

Iklan di Kompasiana begitu banyak dan kadang-kadang sulit ditutup. Belum lagi jika ada video Kompas TV yang suka otomatis nongol. Aku pernah kaget buka web Kompasiana saat di luar rumah. Bunyi videonya kencang banget.

Cara membaca Kompasiana yang berhalaman-halaman juga bikin tak nyaman. Artikel bisa dilihat semuanya baru halaman ketiga dan ini sebenarnya sungguh menyiksa.

Pembaca kok disiksa sih. Padahal katanya ingin meningkatkan literasi dan budaya membaca. Kalau pembaca enggan datang karena merasa tidak nyaman, lalu bagaimana?

Aku pernah bertanya ke beberapa teman, mereka mengaku merasa tak nyaman gara-gara iklan dan cara baca artikel yang harus banyak klik 1,2,3 tersebut.  

Angka bounce rate Kompasiana (di tengah) cukup tinggi (sumber: Alexa.com)
Angka bounce rate Kompasiana (di tengah) cukup tinggi (sumber: Alexa.com)

Dari data Alexa, tingkat bounce rate Kompasiana cukup tinggi. Bounce rate adalah angka persentase pengunjung web yang memutuskan untuk pergi tanpa membuka halaman kedua atau halaman lainnya. Bisa jadi mereka malas membuka halaman kedua karena merasa proses membacanya tidak nyaman.

Bounce rate Kompasiana mencapai 65,7 persen. Sedangkan rata-rata kompetitor 61,5 persen. Angka aman sendiri adalah sekitar 40-60 persen, dan yang baik tentunya di bawah 40 persen.

Ini bisa jadi buah simalakama. Pilih iklan dan page view atau pembaca nyaman dan kemudian banyak berdatangan.

Tapi iklan juga bisa tetap banyak lho, asal penempatannya rapi dan mudah ditutup. Di beberapa web manca, artikel hanya muncul setengah, lalu klik di bawahnya baru muncul semuanya. Sehingga cukup klik sekali bisa muncul seluruh artikel, tidak klik dua kali dulu baru muncul artikel selengkapnya.

Oleh karena kepanjangan dan aku ingin mengerjakan tulisan di blog pribadi, maka kututup dulu sekian. Omong-omong Kompasiana terlempar lho di 50 website Indonesia terpopuler, kalah dengan kompetitornya.

 Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun