Lombok bukan hanya memiliki deretan pantai yang indah. Daerah ini juga memiliki bebukitan dan gunung yang terkenal di kalangan wisatawan mancanegara, Rinjani. Salah satu pintu masuk ke Rinjani adalah Desa Sembalun Lawang. Desa yang memiliki kisah sejarah, budaya, dan juga mempunyai panorama menawan.
Dari tempat kerajinan gerabah Banyu Mulek kami menuju Sembalun Lawang. Perjalanan berlangsung sekitar dua jam, dengan jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok. Lalu di tepi jalan yang merupakan hutan, kulihat para monyet. Ada yang termangu-mangu sendirian, ada yang bersama kawannya.
Wah kami sudah tak jauh dari Taman Wisata Pusuk Sembalun, tempat wisata dengan latar panorama Rinjani yang juga memiliki banyak monyet.
Monyetnya berwarna cokelat keabu-abuan. Mereka seperti memiliki kumis putih yang kontras dengan warna bulunya yang lain. Ekornya panjang sehingga disebut juga monyet berekor panjang.
Aku punya beberapa kali pengalaman buruk dengan monyet. Alhasil aku tak berani dekat-dekat dengan mereka. Tapi mereka nampaknya relatif tidak nakal. Mereka hanya bereaksi apabila diberikan makanan.
Aku menitipkan kue bekal ku kepada penjual cilok yang sudah 'akrab' dengan mereka. Aku kasihan melihat mereka yang nampak kedinginan.
Ada bangunan kecil dari kayu yang menjadi 'rumah' mereka. Sebagian monyet bergerombol di sana, seperti berteduh atau mencari kehangatan. Ada juga monyet yang bersama induknya.
Cuaca masih mendung dan sesekali gerimis. Kabut hadir sesekali, menutup keindahan Rinjani.
Selintas ada rasa penasaran, kenapa monyet-monyet ini tinggal di kawasan taman wisata ini, bukannya tetap tinggal di hutan. Apakah karena mereka sudah terbiasa menyantap makanan manusia?
Kami tak lama ke Pusuk. Perjalanan masih berlanjut. Gerimis juga masih turun.
Tiba di Dusun Beleq dan Bukit Selong
Tujuan berikutnya adalah dusun adat, Dusun Beleq. Menurut Muji, pemandu juga keturunan dari warga Dusun Beleq, dusun ini adalah dusun pertama di Sembalun. Ia sudah ada sejak tahun 1257M.
Ada tujuh rumah di dusun ini. Rumah-rumahnya terbuat dari bambu, kayu, dan ilalang, dengan lantai dari tanah bercampur kotoran sapi seperti umumnya rumah adat Lombok.
Rumah ini sekarang tak ditinggali setelah terjadi bencana alam. Rumah-rumahnya akan direnovasi. Pemiliknya kemudian tinggal di rumah yang tak jauh dari rumah adat ini.
Kami diajak masuk ke salah satu rumah. Ada dua bagian di dalam rumah. Bagian pertama untuk menjamu tamu dan tidur. Sisi satunya untuk menaruh hasil panen, benda berharga, dan peralatan.
Di dusun tersebut juga ada lumbung untuk menyimpan hasil panen. Bentuknya dirancang sedemikian rupa agar tikus tak menghampiri.
Muji bercerita nenek moyang mereka mewariskan tiga hal ke mereka. Yakni agama, beras, dan perkakas besi.
Kami kemudian mendaki Bukit Selong yang berada di bagian belakang dusun. Ada banyak tanaman bambu yang salah satunya digunakan untuk menjaga air.
Sudah ada anak tangga menuju Bukit Selong. Pengunjung jadi dimudahkan menuju puncak bukit. Trekking sore yang asyik
Panorama di Bukit Selong sungguh memanjakan mata. Sawah terhampar rapi, kemudian juga ada panorama, bebukitan dan Rinjani (yang sayangnya sedang tak nampak karena mendung dan kabut), plus udara segar. Hati-hati ada 'ranjau' karena si sapi juga suka menikmati panorama di sini.
Sembalun dikelilingi bebukitan yang juga memiliki panorama menawan. Ada Bukit Anak Dara, Bukit Lawang, Bukit Telaga, Bukit Pengasingan. Di Bukit Pergasingan dan Bukit Lawang, biasanya wisatawan tertarik akan olahraga paralayang. Mereka bisa tandem atau melakukannya sendirian.
Para pengelola paralayang di Bukit tersebut rata-rata sudah terlatih, beberapa juga sudah punya lisensi. Olahraga ini mulai hadir pada tahun 2013, ketika ada kelompok fotografer yang melakukan paralayang di tempat tersebut.
Kelompok Sembalun Community Development Center (SCDC) kemudian tertarik mempelajarinya. Mereka dilatih oleh Persatuan Gantole dan Paralayang Indonesia Malang yang sudah sukses mengembangkan wisata olahraga ini di Gunung Banyak, Malang.
Kemasyuran Rinjani dan daerah sekelilingnya sayangnya menyisakan problema. Masalah tersebut adalah sampah. Menurut Muji, masalah sampah ini masih menjadi PR bagi SCDC. Bagaimana mereka mendidik wisatawan dan bagaimana memanejemen sampah menjadi tantangan tersendiri.
Bertani, Beternak, dan Bertenun
Di Desa Sembalun rata-rata masyarakatnya menjadi petani dan peternak sapi. Sapinya cokelat dan nampak anggun. Mereka pandai mendaki. Ketika kami menuju Bukit Selong, beberapa sapi juga sudah asyik merumput di bukit sebelah.
Warganya suka bertanam bawang putih di rumah-rumah mereka. Di sini juga ada varietas lokal beras merah. Oh iya juga ada wisata petik stroberi di sini.
Selain bersawah, juga ada pusat kerajinan tenun yang dikelola belasan warga desa. Kerajinan Tenun Lebak Lauk, misalnya.
Di sini penenun masih suka menggunakan alat tenun tradisional.
Motifnya di antaranya motif gunung Rinjani, burung, dan motif londong. Bertenun di sini bisa bermakna melestarikan kebudayaan, juga wujud pengabdian istri kepada suami.
Setelah ke sawah, mereka biasanya menenun di rumah. Mereka juga tetap mengurus rumah tangga, memasak dan mengasuh anak-anaknya.
Oleh karena pekerjaan sebagai istri itu banyak, maka proses menenunnya tidak bisa cepat, curhat penenun. Meski demikian, nampak terlihat mereka mencintai aktivitas tenun dan memikirkan cara bagaimana anak-anaknya mereka nanti menguasai ketrampilan ini.
Sisi menarik dari pusat tenun ini mereka menggunakan pewarna alami. Kuning dari kunyit, hitam dari kayu suren, dan hijau dari daun komag.
Setelah kenyang dapat ilmu dan berwisata di Sembalun, kami pun beristirahat di penginapan, sambil menikmati te tarian khas Sembalun. Cerita di penginapan Pesona Rinjani mungkin akan kusampaikan kemudian hari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H