Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Love Story", Film Indonesia tentang Cinta dan Mitos

12 Oktober 2021   23:13 Diperbarui: 12 Oktober 2021   23:46 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Galih seorang diri membangun sekolah dan kincir | sumber gambar: Kapanlagi.com

Latar cerita bak dongeng ini menarik. Film "Love Story" memberikan gambaran sebuah desa yang kehidupan masyarakatnya masih sederhana, belum tersentuh listrik dengan rumah-rumah kayu sederhana.

Masyarakat desa dalam film ini masih menjaga adat tradisi, seperti memberikan sesaji ke sungai dan juga dominan mengenakan baju dengan model dan warna tertentu. Gerobak kuda menjadi mode transportasi yang umum digunakan oleh warga setempat.

Andai film ini lebih menggali aspek adat dalam desa ini tentunya akan lebih menarik. Sayangnya film ini lebih berfokus ke kutukan dan bagaimana menggagalkan hubungan Galih dan Ranti agar tak terjadi malapetaka di kedua tersebut.

Nah ketika cerita berfokus ke hubungan Ranti dan Galih, di sinilah banyak hal yang kurang masuk akal dalam film ini. Yang pertama adalah kesinambungan cerita. Di awal film, si nenek bercerita ke Ranti bahwa ibunya menjadi korban  karena adanya hubungan antara dua desa. Di sini kurang jelas apakah ibunya pelaku hubungan ataukah ada warga desa lainnya yang memiliki hubungan asmara tersebut.

Jika ibunya adalah korban kutukan maka tindakan si ayah kepada Ranti menjadi beralasan karena ia tak ingin ada korban seperti istrinya. Si ayah (Reza Pahlevi) beberapa kali menghajar Ranti membabi buta, padahal Ranti putri satu-satunya. Sementara si nenek hanya bisa melihat, tanpa menolongnya.

Di sini seolah-olah hanya kaum perempuan yang disalahkan. Ranti dipukuli dengan kejam oleh ayahnya, namun Galih dibiarkan.

Bagian yang kurang masuk akal berikutnya berkaitan dengan Galih dan upayanya membangun sekolah. Tak dijelaskan kenapa ia datang sendiri ke desa tanpa orang tuanya. Apalagi ia bertujuan untuk melamar gadis yang disayanginya sejak kecil.

Tak dijelaskan juga latar pendidikan Galih, sehingga ia mampu membangun sekolah dan kincir sendirian, tanpa bantuan. Pembangunannya juga hanya berlangsung beberapa hari, entah darimana material dan alat bertukangnya. Ia seperti sosok dongeng Bandung Bondowoso bisa membuat sesuatu dalam sekejab.

Semua bagian tentang Galih dan sekolah rasanya janggal. Tapi film ini jadi berasa seperti dongeng dan sosok Galih itu seperti tak nyata.

Galih seorang diri membangun sekolah dan kincir | sumber gambar: Kapanlagi.com
Galih seorang diri membangun sekolah dan kincir | sumber gambar: Kapanlagi.com


Di luar keterbatasan ceritanya, pesan dalam film yang disutradarai oleh Hanny R. Saputra ini bernas. Bagaimana sosok Ranti ingin berkontribusi bagi desanya dengan menjadi guru. Galih juga ingin mengubah persepsi warga tentang sungai, yang awalnya menakutkan menjadi sebuah anugerah Tuhan yang banyak manfaatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun